Telapak tangannya basah berpeluh, menggegam kenop pintu besi berwarna perak. Mary menghela napas panjang. Entah kenapa ia merasa gugup. Padahal, dia salah satu murid terbaik di National University of Singapore. Dia sudah berhadapan dengan profesor-profesor brilian, dokter-dokter termasyhur di Asia, ahli-ahli medis ternama, dan selama ini, Mary berhasil membuat mereka semua kagum. Namun, kenapa pertemuan dengan kepala rumah sakit di negaranya sendiri masih membuat tangan Mary gemetaran?
Sudah lama sekali! Aku merasa senang sekaligus tegang. Kuharap aku membuatnya bangga.
Selagi tangan kanannya menggenggam gagang pintu, ia mengetuk dengan tangan kirinya. Dentuman pintu kayu beradu dengan tulang buku jari Mary menjadi bunyi semata-mata di sepanjang koridor.
"Permisi!"
"Silakan masuk!" jawab suara seorang wanita, bersuara sopran.
Mary memutar gagang pintu perlahan. Mula-mula dia menampakkan kepala, sebatas dagu. Rambutnya yang kecokelatan---karena terlalu sering terpapar sinar matahari--- terurai dari leher lalu melampaui pundak. Dahi yang bak bola dunia memantulkan sinar lampu. Mary menyunggingkan senyum tipis dengan bibir merah muda.
"M-Mary? Kaukah itu?" ucap wanita paruh baya di belakang meja kerja. Bingkai kacamata merosot ke ujung hidung ibu itu saat mulutnya menganga melihat sosok Mary.
"Lama tidak berjumpa," sahut Mary sambil berjalan memasuki ruangan. Tanpa sadar bulir-bulir air mata mulai menitih di pipinya, "Aku sangat merindukan Bunda!"
****
"Katanya kau mendapat nilai terbaik di kampusmu ya?"
"B-Bunda! Bunda melebih-lebihkan," keluh Mary, tersipu malu.
"Berita itu tidak benar?"
"Ya ... separuh benar," jawab Mary ragu sambil menggaruk kepala. "Aku mendapat nilai terbaik seangkatan, bukan seluruh kampus, Bun."
Ibu Mary terkikih, "Bunda percaya kamu pasti bisa menjadi yang terbaik."
"Amin!" Mary mengurai jambang rambut ke balik telinga.
Sepasang ibu dan anak itu bercengkrama, duduk berhadap-hadapan, hanya terpisah oleh meja kantor Ibu Mary. Mendengarkan kisah-kisah jagoan kecilnya itu berusaha berbaur di negara asing menyejukan hati sang Ibu. Mungkin terasa lama bagi Mary, namun bagi seorang ibu; sepertinya baru hari kemarin ia menanyakan apa cita-cita Mary kecil. Dengan penuh gairah, Mary kecil akan menjawab, "aku akan menjadi seorang petinju!" Tentunya, bukan sebuah jawaban yang diinginkan oleh ibu dari seorang anak perempuan manapun.
"Apakah Ibu tahu? Mary juara lomba MMA!" sorak Mary, sekonyong-konyong di tengah percakapan hangat tentang kampus.