Bandara Husein Sastranegara, Juni 2016
Aku merekam ini di perjalanan menuju airport. Sekitar jam setengah empat pagi tadi, Wulan meneleponku sambil menangis. Aku kaget bukan main mendengar suara tangisnya di pagi buta tadi.
Pada awalnya, Wulan hanya memintaku secara berturut-turut untuk menjadi teman bicaranya. Berulang kali permintaan itu ia ucapkan, meski sudah juga kulakukan berkali-kali permintaannya. Dalam durasi telepon 38 menit itu, Wulan akhirnya angkat bicara mengenai apa yang baru menjadi sebab tangisnya. Seseorang telah menjadikan Wulan korban pelecehan seksual.
Langsung kupesan tiket pesawat tercepat hari ini. Pukul 7 pagi. Aku cuma ijin ke Bang Sanca kalau aku hendak pergi ke Jogjakarta. Beruntung ia mengijinkankan. Sekarang, aku cuma bisa berharap. Semoga Wulan nggak kenapa-napa, semoga Wulan baik-baik aja.
Kota Bandung, Juni 2016
Kinan terbangun dari tidurnya lantaran ponsel yang ia letakkan di nakas berbunyi. Kinan tau itu bukan bunyi alarm, melainkan dering telepon. Jarang sekali ia menerima telepon saat langit bahkan masih gelap-gelapnya. Nama Wulan terpampang jelas pada layar ponselnya. Ia segera menyadarkan diri sebelum mengangkat telepon dari sahabatnya tersebut.
“Kinan..” Suara Wulan dari seberang telepon terdengar bercampur dengan isak tangis.
“Wulan? Kamu nangis?”
“Nan, ajak aku ngobrol dong.”
“Lan, are you ok?”
“Ajak aku ngobrol. Bahas apa aja. Tolong..”
“Kamu.. Kamu kok bangun pagi buta gini? Ini bahkan belum masuk waktu subuh.”
Tangis Wulan semakin menjadi-jadi. Kinan merasa pertanyaan yang ia lontarkan salah.
“Lan, Lan. Kamu inget nggak waktu Tomo hampir jatuh di selokan pinggir jalan waktu malem minggu? Itu kan rame banget, ya? Pasti malunya ampun-ampunan deh itu si Tomo.”
“Inget, Nan. Lucu, ya?” Wulan nggak bener-bener menunjukkan ekspresi suara terhiburnya saat itu. Padahal, Wulan menjadi orang yang paling tertawa kencang hari dimana tragedi Tomo itu terjadi.
“Lan, ada tugas kuliah apa besok?”
“Tugas gue udah selesai semua, Nan.”
“Oh, tugas apa? Dosen yang dulu kamu ceritain killer banget itu apa kabarnya? Dia masih dimusuhin sama mahasiswa?”
“Masih, Nan. Dia jadi ketua program studi gue sekarang.”
“Hah? Kamu serius?” Kinan berusaha menunjukkan ekspresi tidak percaya.
“He’em” Nada bicara Wulan masih belum menunjukkan perubahan ke arah antusias.
“Wulan, kamu perlu aku nemenin kamu di Jogja?”
“Nan,” Wulan memanggil nama Kinan pelan, hampir tidak terdengar.
“Iya, Lan?”
“Aku..” Wulan menjeda kalimatnya sejenak, ragu-ragu hendak melanjutkan, “Aku baru aja dilecehkan seorang barista. Aku baru pulang. Aku takut. Aku sendirian, tapi rasanya ada yang mau ganggu aku disini.”