Kota Bandung, April 2019
Aku selalu tau bahwa Catur adalah laki-laki yang pintar sekaligus cerdas. Hal itu membuat Catur menjadi laki-laki yang selalu aku banggakan. Catur lulus dengan predikat cumlaude tepat di 3,5 tahun periode kuliahnya. Selain itu, Catur berhasil menjadi lulusan terbaik di fakultasnya. Semua keberhasilan itu ia peroleh melalui jerihnya sendiri, dan bukan semata karena kuasa ayahnya sebagai seorang rektor.
Dua bulan setelah kelulusannya, ia diterima di salah satu universitas bergengsi di New York dengan beasiswa kerjasama pemerintah Indonesia dan Amerika. Menurut jadwal, Catur dikabarkan akan meninggalkan Indonesia 6 bulan yang akan datang. Bersamaan dengan kabar itu, sebuah kabar lain juga sampai ke telingaku, Catur akan bertunangan dengan Kak Prita sebelum ia pergi melanjutkan studinya. Aku tentu senang dengan kabar itu, mengetahui Catur akhirnya menemukan perempuan untuk mendampinginya adalah suatu kebahagiaan bagi lingkaran pertemanan kami.
Catur POV
Gue emang merupakan anak seorang rektor universitas swasta ternama di Kota Bandung meskipun gue nggak pernah menunjukkan itu kepada publik karena gue nggak pernah mau hidup di bawah bayang-bayang nama besar orang lain selain diri gue sendiri.
Beberapa orang yang tau latar belakang itu entah dari mana asalnya, selalu melontarkan berbagai ungkapan seperti, “Berduit sih.”, “Privilege kan beda.”, “Jalur privilege tuh.”, dimana ungkapan-ungkapan itu udah tentu jadi makanan sehari-hari gue di kampus. Tapi Kinan beda, dia selalu mengapresiasi gue karena apa yang gue usahakan, “Gue tau lo pantes dapet beasiswa ini. Selamat ya, Tur. Semoga persiapan acara pertunangan lo juga lancar.”
Tapi entah bagaimana dan darimana mulanya, gue merasa tercabik seorang diri dengan ucapan terakhir dari Kinan. Tahunan berlalu, tapi dalam beberapa hal, gue tetap merasa nggak karuan tiap kali Kinan membahas hubungan gue dengan Prita. Seolah sesuatu telah mengganjal, dan memang begitu adanya. Seperti ada hal yang belum tuntas tentang perasaan gue ke dia.
Dua hari setelah pertemuan gue dengan Kinan itu, gue dan Prita menyiapkan keperluan acara pertunangan yang sedikit dibuat mewah karena meskipun tamu undangan hanya kerabat dekat serta saudara gue dan Prita, tapi mayoritas dari mereka tergolong pada kelas atas. Jajaran pejabat di lingkup universitas istilahnya, terlebih lagi, Prita juga terlahir dari keluarga kelas akademisi ternama.
Beberapa minggu sebelum acara pertunangan itu dilaksanakan, gue dan Prita banyak meluangkan waktu bersama untuk melakukan persiapan acara.
Prita tentu menyadari ada sesuatu yang berbeda dari gue Fokus gue yang tiba-tiba hilang beberapa hari belakangan karena pikiran tentang kedekatan Kinan dan Haza yang menurut gue terjadi dengan tiba-tiba,
“Kamu kenapa sih belakangan ini? Kayak ada yang beda.” Ujar Prita di tengah pertemuan kami.
Gue langsung menjawab cepat, “Bukan apa-apa.”
“Kamu serius? Ekspresi kamu kayak nggak interest gitu? Ada apa?”
“Nggak ada apa-apa, Ta.”
Jawaban itu membuat Prita berhenti menanyai gue saat itu meskipun gue tau dia masih nggak percaya dengan “nggak ada apa-apa” yang gue lontarkan.
Prita menanyakan hal yang sama ketika kami berdua tengah makan siang bersama di salah satu restoran dekat pusat perbelanjaan. Ia meraih tangan gue di atas meja dan menatap mata gue dengan ekspresi serius,
“Kinan lagi deket ya sama si ketua BEM kampus kamu itu?”
“Kok kamu tau?”
“Itu kan yang bikin kamu jadi agak beda belakangan ini?”
Gue nggak pernah bisa berbohong di hadapan Prita, sehingga gue hanya mengangguk singkat, sementara Prita menarik kembali tangan yang semula menggenggam tangan gue, ia lalu tersenyum hangat.