Sanca telah mengenakan jaket dan celana panjang hendak menjemput Kinan tatkala adiknya itu memasuki rumahnya hanya dengan diam. Amarah Sanca telah memuncak dan ia tengah menanti tumpahnya amarah tersebut pada Kinan.
Beberapa jam hingga beberapa menit yang lalu, Sanca memarahi Kinan melalui telepon lantaran sang adik tidak kunjung pulang hingga larut malam. Kecuali bermain bersamanya atau Catur, Sanca tidak pernah memperbolehkan Kinan pulan lewat dari jam 11 malam.
Malam itu, sayangnya Kinan baru tiba di rumahnya jam dua malam.
Sanca lalu mengunci pagar dan pintu rumah dan langsung menghampiri kamar sang adik yang terturup rapat, bahkan terkunci.
Berkali-kali Sanca mengetuk pintu kamar Kinan sembari membujuknya menjawab apapun yang ditanyakan Sanca, “Nan? Mau makan?”
“Nan? Mau abang siapin air hangat buat mandi?”
“Nan? Maafin abang ya, tadi udah marah-marah.”
Kinan tidak menjawab satu pun sahutan dari Sanca. Sanca masih mengira adiknya membalas amarahnya di telepon.
Hingga esok ketiga pagi tiba, Kinan tak kunjung juga keluar dari kamarnya. Ketukan pintu yang dibuat Sanca tidak digubris sama sekali. Pintunya juga masih terkunci tatkala Sanca mencoba untuk membuka pintu kamar itu.
Kinan benar-benar marah dengan dirinya. Pikir Sanca saat itu.
Hingga jarum jam telah mengarah ke angka sembilan pagi, Kinan tak juga kunjung keluar dari kamarnya. Khawatir sesuatu terjadi dengan adik kembarnya itu, Sanca mengambil kumpulan kunci cadangan di laci kamarnya, dan memilah satu kunci cadangan kamar Kinan.
Dengan kunci cadangan itu, pintu kamar Kinan berhasil dibuka. Kinan masih terbaring di kasurnya dalam diam. Menyadari pintu kamarnya berhasil dibuka, Kinan tanpa perlu aba-aba keluar dari kamarnya dan menghampiri meja makan.
"Kamu kenapa, Nan?" Kinan hanya menggeleng, ia duduk di salah satu kursi makan yang telah disiapkan oleh Sanca, sementara Sanca duduk tepat di seberang Kinan.