Kota Bandung, April 2019
Setelah beberapa hari berlalu, Sanca menahan gue untuk dateng menjenguk Kinan di rumahnya, dan ia memiliki alasan untuk itu, “Tur, lo punya Prita. Lo punya hubungan yang harus lo lanjutin. Jangan sakitin dia cuma karena Kinan.”
Sanca sempurna bener. Fokus gue atas Kinan membuat gue lupa diri atas orang lain yang juga jadi tanggungjawab gue. Atas permintaan Sanca dan kesadaran akan hal itu, gue pergi ke Rumah Prita, tidak ada orang disana selain Teh Euis, seorang asisten rumah tangga yang menjaga di rumah itu, Teh Euis mengabarkan, Prita pergi ke Jakarta di malam di hari yang sama pada hari pertunangan kami.
Gue bergegas menghampiri apartemen Prita di Jakarta. Perjalanan Bandung-Jakarta terasa begitu panjang buat gue, lebih panjang dari perjalanan-perjalanan gue biasanya ketika mengunjungi dia, perjalan itu juga sekaligus membuat gue sadar. Gue adalah laki-laki brengsek buat Prita. Lebih dari brengsek.
Gue menekan bel apartemennya hingga lima kali, tapi nggak juga ada jawaban sampai gue membunyikan bel untuk keenam kalinya, Prita membuka pintu dan nggak terlalu kaget mendapai gue. Kami berdua diam beberapa detik, gue diam memperhatikan wajah yang harus menanggung kebrengsekan gue, di sisi lain, gue juga tau betul dia habis menangis, matanya merah. Bahkan setelah berhari-hari, dia masih menangisi kebrengsekan gue ninggalin dia di hari pertunangan kami.
Dia mempersilakan gue untuk masuk ke ruang tamu di apartemennya, “duduk dulu, Tur.”
Ia lalu menyiapkan gue segelas sirup jeruk dengan air dingin selepas mempersilakan gue duduk di ruang tami apartemennya. Bukan mai gue tertegun melihat apa yang dilakukan Prita hari itu. Dia memperlakukan gue layaknya seorang tamu, terakhir kali dia lakuin itu adalah enam tahun yang lalu, saat kami berdua masih berada di masa pendekatan.
Kami berdua duduk berhadapan dengan keadaan sangat canggung. Lidah gue kelu seketika hendak memulai perbincangan yang udah gue rangkai kata per kata di perjalanan menuju apartemennya. Susah payah rasanya untuk memulai atau barang menghangatkan suasana terlebih dahulu. Sampai akhirnya gue tersadar, sekarang atau nanti akan sama, semua harus dibicarakan, gue pada akhirnya harus meminta maaf.
“Ta, aku kesini..”
“Biar aku dulu yang ngomong, Tur.” Prita memotong kalimat gue.
“Oke, silakan.”
“Kejadian kemarin membuat aku berulang kali mikir, dan entah gimana hasilnya selalu sama, baiknya kita udahan aja, Tur.”
“Ta, aku tau aku salah, aku sepenuhnya sadar, dan aku kesini untuk minta maaf.”
“Kamu nggak salah.”
Gue hampir kehilangan logika waktu Prita justru bilang gue nggak salah, hal itu justru yang membuat gue semakin menyadari betapa brengseknya gue meninggalkan perempuan kayak Prita.
Prita melanjutkan lagi kalimatnya, “Aku selalu tahu, Tur. Bukan aku, kan?”
“Ta,”
“Bukan aku, kan?”
Kali ini gue hanya diam.
“Kinan kan, Tur?”
Gue diam lagi mendengar sebuah pernyataan yang dibuat menjadi pertanyaan oleh Prita.
“Kamu selalu bilang jangan jatuh terlalu dalam ke Kinan. Tapi justru kamu yang jatuh terlalu dalam ke dirinya, dan itu bukan kesalahan kamu. Jangan minta maaf.”
“Jangan kehilangan kesempatan kedua, Tur.”
Kerelaan Prita membuat hubungan gue dengannya resmi selesai.