Belum usai dengan soal kemungkinan usaha bunuh diri Kinan, emosi gue keesokan harinya masih juga diuji dengan post akun media sosial organisasi yang masih gue ikuti. Haza masih hadir dalam agenda kampus. Ia masih bicara di atas podium dan berpidato disana sebagai ketua Senat Mahasiswa Universitas Nasional Darmawangsa.
Gue pamit sama Sanca untuk pulang. Pulang gue bukan semata diartikan dengan kata pulang sebagaimana seharusnya. Tapi pulang gue adalah untuk menemui papa sebagai pemilik kuasa atas kebijakan di kampus dan meminta penjelasan. Tanpa pikir panjang, gue langsung pergi dari Rumah Sanca, gue menutup pintu mobil dengan kencang dan membanting handphone ke jok penumpang.
Bagai kesetanan, gue langsung mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Pikiran gue bener-bener nggak karuan. Nggak ada lagi yang gue pikirin kala itu, selain Kinan seorang. Lagi-lagi Kinan seorang.
Gue udah liat secara jelas kalo laporan pelecehan ini udah sampe ke Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan rektorat. Seharusnya laporan itu udah sampe di telinga papa selaku rektor dan harusnya Haza udah dikeluarkan dari kampus sejak laporan itu diterima dan diproses. Nyatanya tidak. Haza justru masih berkeliaran dengan tanpa malu meski ia telah dikenal biadab oleh khalayak.
Beruntung sore itu Papa di rumah, ia pulang lebih cepat dari biasanya. Gue langsung menuju ruang kerja papa dan membuka pintu ruang itu dengan kasar.
“Ada apa sampai kamu sudi-sudinya masuk ruangan papa?”
“Papa belum drop out Haza si manusia brengsek itu?”
“Kamu pulang bukannya bawa suasana hangat, malah jadi panas.”
“Aku nggak berselera untuk basa-basi, Pa. Kenapa Haza nggak dikeluarkan dari kampus?”
“Kamu ini nggak tau diuntung. Udah tinggalkan Prita untuk perempuan itu? Sekarang masih mau jatuhkan reputasi universitas yang papa pimpin?”
“Aku cari keadilan untuk Kinan, Pa.”
“Cinta kamu sama dia?”
“Aku kesini cuma untuk cari keadilan untuk Kinan. Nggak perlu mengalihkan topic, Pa.”
“Papa sudah bayar semua biaya terapinya. Ini win-win solution.”
“Kinan nggak perlu bantuan materi dari Papa.”
“Kamu biarin harga diri papa dan kampus ini hancur sementara kamu malah membela orang lain di luar keluarga kamu sendiri?”