Berkat percobaan bunuh diri yang dialami Kinan hari itu, gue dan Sanca menjadi lebih ekstra mengawasi Kinan secara bergantian.
“Kinan, sembuh, ya? Jok mobil gue udah gue ganti, Nan. Warna merah, warna favorit lo.”
“Nan, mobil kijang butut gue kangen sama lo.”
“Nan, gue kangen ngobrol sama lo lagi.”
Gue selalu ada di hari-hari Kinan, setiap harinya. Dateng ke Rumah Sanca setiap hari udah jadi rutinitas gue, apapun kondisi Kinan, gue pengen selalu ada di deket dia.
Pagi itu pula, gue mendengarkan rekaman suara Kinan di ruang tamu karena gue bener-bener merasa rindu sama dia. Gue mendengar rekamannya dari hari ke hari, dan selalu menjawab isi rekaman tersebut dengan cerita dari setiap bagian dari sudut pandang gue. Gue selalu bercerita bagaimana gue juga mencintai Kinan setiap harinya secara detail. Gue nggak pernah lupa satu pun momen yang udah gue lewati bareng Kinan.
Sampai sebelum gue mendengar rekaman terakhirnya, gue berdoa semoga Kinan setidak-tidaknya menyadari kehadiran gue disampingnya dan memaafkan semua yang udah terjadi.
Tuhan rupanya mendengar doa gue hari itu.
Kinan, tanpa gue duga ternyata sejak tadi menyimak suara-suaranya di rekaman yang setiap hari gue putar.
Secara lebih terperinci, tanpa gue sadari, Kinan tiba-tiba keluar dari kamarnya dan memandangi gue. Gue masih membalas semua kalimat di rekamannya, gue mencoba mengutarakan apa yang gue rasain di waktu yang sama waktu Kinan membuat rekaman suara itu.
Kinan lalu menghampiri gue di ruang tengah. Ia mengajak gue untuk bangkit dari sofa dan menuntun gue jalan secara perlahan ke kursi di ruang makan, ia meminta gue duduk di salah satu kursi, Kinan lalu menarik satu kursi yang lain, meletakkannya di samping kursi gue, dan duduk disana, “Teruskan rekamannya, Tur.”
Kinan akhirnya bersuara.
Susah payah gue mengumpulkan kepercayaan, Kinan akhirnya bersuara setelah selama ini ia hanya mampu bicara ke Theresia.
Di rekaman terakhirnya ini, rekaman sebelum ia menyerahkan voice recorder-nya pada Tomo, sebelum ia bertemu dengan Haza, dan sebelum kejadian traumatic itu terjadi, Kinan mendengarkan dengan seksama.
Kinan diam untuk beberapa saat setelah rekaman terakhir itu selesai, ia lalu membuka suara lagi untuk kedua kalinya, kali ini dengan narasi yang lebih panjang. Awalnya, gue bingung bukan main atas apa yang hendak disampaikannya, sampai akhirnya kalimat demi kalimat terlontarkan, dan gue akhirnya menyadari, Kinan tengah melanjutkan cerita dari rekamannya, cerita tentang kejadian itu.
Theresia dan Sanca dateng tepat saat Kinan mulai bercerita setelah sebelumnya gue mengabari mereka bahwa Kinan akhirnya mampu berbicara lagi.
“Aku senang bukan main hari itu. Haza mengajakku pergi ke acara seminar TEDx yang dua fokus topiknya merupakan topik yang kami sukai. Seselesainya acara itu, kami saling membahas kedua topik itu dengan aku yang mendominasi bicara tentang kesehatan mental, sementara Haza mendominasi bicara mengenai masa depan Indonesia. Kami berpendapat dan berargumen, aku sangat menyukai momen itu, momen dimana Haza bisa menjadi pendengar dan penyampai pesan yang baik.”
“Nggak sampai disitu, Haza juga mengajakku untuk pergi menemaninya survey desa binaan di daerah Lembang. Beberapa anggotanya telah sampai terlebih dahulu disana. Aku mengiyakan ajakannya, ia katakan bahwa ia butuh teman bicara selama perjalanan ke daerah lembang.”
“Perjalanan itu memang sangat menyenangkan. Aku dan Haza lagi-lagi saling mengobrol berbagai topik, menyahuti argumen satu sama lain. Sekitar 30 menit setelah perjalanan kami, aku secara nggak sadar tertidur di perjalanan karena lelah pasca menghadiri event tadi pagi hingga siang, ditambah lagi cuaca di luar sangat dingin karena hujan yang sangat deras. Hingga entah bagaimana mulanya, Haza tiba-tiba memberhentikan mobil di salah satu penginapan. Aku nggak begitu tau daerah tempat Haza memberhentikan mobilnya, yang aku sadari hanya Haza meminta izin untuk mengajakku singgah sejenak di penginapan itu karena hujan sangat deras membuat akses jalan ke desa binaan di daerah Lembang itu tertutup dan cukup membahayakan. Aku tentu nggak bisa menolak, lagipula nggak sedikit pun timbul kecurigaan atas Haza.”
“Haza memayungiku turun dari mobil untuk memasuki rumah penginapan yang hanya dijaga oleh seorang penjaga yang tinggal di rumah kecil di samping penginapan itu. Di penginapan itu, Haza juga memasak dua bungkus indomie kuah yang telah disediakan di dapur penginapan untuk menghangatkan badan. Ia melarangku membantunya karena ia merasa bersalah harus membawaku ke keadaan yang di luar dugaan ini. Hal-hal yang Haza lakukan hari itu membuatku benar-benar terasa sangat disayangi.”
“Dua mangkuk indomie kuah bertengger di meja makan siap untuk dimakan. Di meja makan itu pula, lagi-lagi perbincangan kami berdua mengalir begitu adanya. Kedekatan kami yang berumur hampir satu bulan membuatku percaya banyak hal untuk diceritakan padanya. Termasuk soal persahabatanku yang bahasan itu adalah hasil pancingannya. “
“Aku menceritakan kasus yang dialami oleh Wulan dan Gita, dan menanggapinya dari segi keilmuan psikologis, sementara Haza menanggapinya dengan berbagai ujaran seperti ‘Makin gila ajaya orang di dunia ini.’, ‘Udah pada gila, bahkan orang terdekat sekalipun udah nggak bisa kita percaya.’, dan sampai pada satu kalimat, ‘Tapi emang nggak ada yang bisa menjamin sih, Nan. Gue juga nggak tau kalo ada di posisi itu kayak gimana.’”