Lembayung senja di ufuk langit bermandi berpeluh keringat, ibukota sore ini terlihat kerumunan menyemut dipandangan gedung-gedung pencakar langit yang mengepung mereka. Kemacetan demi kemacetan disana tak membuat manusia yang bergelut untuk sejumput asa itu berhenti sejenak, langkah kaki terus diseret biarpun terasa berat dicekal bola besi kehidupan. Kehidupan jalanan dikenal hukum rimba, siapa yang kuat jadilah raja penguasa. Berbagai ragam teknik bertahan hidup yang tak mungkin dipelajari dalam bangku sekolah, ilmu katon terapan praktek dan itu dapatkan bila kita mau jadi bagian jalanan itu sendiri. Lelehan bulir keringat yang menetes dahi dan pipi mereka yang mungkin bisa diminum sendiri olehnya.
Begitu banyak kaum urban menyerbu Jakarta yang ditasbihkan kota metropolitan untuk mengadu nasib, bak magnet menarik laron-laron mengitari lampu pijar 5 watt kerlap-kerlip redup di tengah gelap. Tiap tahun ribuan bahkan jutaan pendatang memadati ibukota dengan impian merengkuh kesuksesan layaknya American Dream tapi ini bukan, Jakarta itu slum city bukan negeri paman Sam. Disini kebusukan tercium menggerogoti semua lini kehidupan bagaikan penyakit kanker terus merambat menunggu mati.
Kota asing yang sendu ini begitu kejam untuk anak sekecil Sarmin, bergelut keras menikmati hidup. Senja itu di tugu Pancoran, Sarmin menjajakan koran pagi untuk sore terkadang mengais botol bekas dari peninggalan kejayaan manusia. Atau mengumpulkan koran majalah bekas untuk dijual demi mendapatkan recehan rupiah untuk diberikan pada emaknya. Ia dan emaknya hidup dipinggiran rel kereta api seperti kaum urban tanpa rumah tak akui keberadaanya. Gubuk renyot non permanen bergabung dengan ratusan bedeng-bedeng berkarat dari pendatang diluar ibukota, Sarmin dan emaknya dari bagian itu. Tidak hanya jalanan tapi stasiun beserta kereta apinya juga menjadi tempat Sarmin bermain, kalian bisa memanggil mereka dengan sebutan anak jalanan atau anak gerbong yang rentan kejahatan pelecehan.
Sarmin hidup dijalanan bukanlah perihal disengaja tapi takdir yang disematkan untuknya sejak lahir. Ia tak tahu siapa bapaknya, emaknya tak sering menceritakan dan dimatanya terlihat selalu berlinang airmata, apakah itu tanda sedih merindukannya atau meratapi? Tak ada bedanya.
"Emak, kenapa menangis?"
"Tidak nak, emak hanya kemasukan debu saja"
Jawaban yang selalu diberikan jika matanya mengucurkan airmata, diusap untuk melupakan masa lalunya. Sebelum ini emak si Sarmin layaknya pendatang musiman yang tiap tahun memenuhi kuota penduduk ibukota ini, berasal dari kampung kecil terpencil Indramayu yang mungkin tidak ditemukan dalam peta. Disini berusaha mengadu nasib untuk memulung sedikit rejeki biarpun itu sisa-sisa.
Hidup di Jakarta tanpa ketrampilan khusus akan jadi bumerang jika hanya mengandalkan tenaga. Emaknya hanyalah gadis perawan jebolan sekolah dasar, orangtuanya petani miskin yang tak sanggup membiayanya lebih lanjut.
Tiba di Jakarta hanya berbekal sebuah kertas usang berisikan nama dan alamat dari kenalan kampung halamanya. Surti sebuah nama katrok, ibu dari Sarmin ini dipastikan tersesat di belantara bangunan beton ini. Sebuah alamat palsu yang tak ada juntrungnya untuk ditemukan dan bisa ditebak seperti cerita-cerita tragis metropolitan. Gadis lugu yang linglung tak punya tujuan dimanfaatkan serigala-serigala mungkin bukan lagi berbulu domba, dituntunkan dari terminal Kalideres oleh tukang-tukang ojek itu.
Diputar-putarkan ke jalanan padat ibukota sampai pelosok, berakhir di kontrakan kumuh dan terpencil. Surti disekap dan digarap bergiliran preman-preman selama 3 hari 3 malam mirip merayakan hajatan kawinan kampung. Surti hanya meronta, teriak dan terisak tak berdaya saat dirinya tahu jadi bahan santapan pemuas napsu purba yang tak tersampaikan pada kelamin-kelamin mereka. Surti hanya teringat wajah emaknya dikampung, keringat-keringat itu membanjir tubuhnya dengan wajah-wajah menyeringai dan menyungging senyum puas. Jeritan-jeritan kesakitan Surti bagaikan suara seruling merdu bagi telinga mereka, menderu bersamaan gesekan-gesekan syahwat tak terbendung. Dan suara-suara dari mulut Surti itu raib tertelan sunyinya malam.