Sarmin kecil disana bersama-sama tangan-tangan mungilnya bermain kelereng di tepian rel kereta api yang telah menjadi arena bermain. Hidup sebagai anak haram jadah tanpa bapak dan terlahir dari seorang pelacur, permainan kanak-kanak itu merupakan anugerah tak terkira dijaman serba sulit seperti sekarang. Setelah peristiwa laknat itu, tidak Surti tak lagi berkeliaran dalam remang-remang café di Kalijodo itu. Hidup terlunta-lunta dan akhirnya menempati bedeng-bedeng non permanen di pinggiran rel kereta api untuk menyambung hidup.
Melahirkan Sarmin tanpa seorang bapak terasa berat bagi Surti, tidak tempat tinggal jelas dan penghasilan tak tentu membuat ia rela jadi kaum urban yang overload di ibukota. Jakarta tak lagi menjadi ibukota kejam tapi menyiksa penduduk legal didalamnya, Surti rela mengais sampah untuk mencari botol plastik atau koran-majalah bekas untuk ditukar recehan rupiah demi sebungkus nasi atau mie instan tiap harinya. Terkadang Surti menjadi buruh cuci door to door di kampung sebelah, apapun dilakukan Surti demi Sarmin anak semata wayangnya. Dijalani dengan halal, tidak lagi jalan haram layaknya masa lalu.
Surti tak mau menghidupi Sarmin dari uang haram dan terus menanamkan doktrin pada anaknya bahwa hidup harus terus dilalui biarpun berat sekalipun.
'Nak, carilah penghidupan buat dirimu. Janganlah kau ambil hak orang lain biarpun kau kelaparan."
Itu yang selalu diucapkan berkali-kali kepada Sarmin tiap malam ketika Surti selalu mendongeng cerita nina bobo. Mendendangkan kidung senja menenangkan jiwa-jiwa suram dan tak kembali dalam raganya. Berharap matahari terus bersinar esok hari tanpa padam.
Surti sendiri tak ingin Sarmin hidup tanpa pengetahuan yang cukup buat mengarungi bahtera mungkin sewaktu-waktu oleng. Sarmin tumbuh dengan cerdas untuk anak seumuran, matanya yang bulat, kulit putih turunan ibunya dari ras Sunda dan rambut ikal. Kritis keingintahuan dan gampang menyerap apapun disekitarnya, pendidikan adalah hal yang mahal bagi mereka miskin tapi bukan pada akal.
Surti tak bisa menyekolahkan Sarmin ke bangku sekolah, biaya tetek begek dan tiada surat keterangan resmi bagi dia dan Sarmin. Pendatang gelap yang tak tercatat dalam sebuah lembaran dilaminating macam akte, KTP atau KK tak pernah ia punyai. Mereka ini hanya menumpang hidup tak tahu kapan berhenti mati.
Beruntung dinegeri ini ada yang peduli, relawan-relawan dari penjuru antah berantah membangun rumah asuh dan pendidikan buat anak jalanan macam Sarmin. Diapun bisa mendapatkan pendidikan dan makanan gratis dari sana bahkan terkadang dibawa pulang untuk emaknya.
Tiap pagi para relawan selalu mengajarkan baca tulis kepada anak-anak jalanan di bantaran sungai Ciliwung. Sarmin paling antusias untuk menyimak semua kata-kata yang keluar dari mulut mereka bahkan menceritakan dongeng untuknya. Baracus muncul dari kerumunan relawan itu dengan cara unik menyampaikan sebuah legenda dari jazirah Arab, Laila Majnun memakai boneka kayu. Mereka memanggilnya master puppet Baracus.
Layak sang dalang, Baracus begitu lincah memainkan karakter boneka kayu ciptaaanya sendiri.
Dahulu kala di negeri berselimutkan padang pasir itu terdapat kisah cinta yang sedih dan gila tentang anak manusia Laila dan Majnun. Memandu kasih tak tersampaikan
Baracus menceritakan kisah yang ratusan tahun sebelum munculnya Romeo Juliet atau Galih Ratna. Qais menjadi Majnun(orang gila) mencintai Laila dalam usia dini, mereka dimabuk asrama tak direstui ayah Laila. Majnun berkeliaran di bukit dengan pakaian compang-camping sambil mendendangkan puisi-puisi cinta untuk Laila. Mereka tak pernah dipertemukan oleh takdir, Laila dijodohkan hingga meninggal dalam kuburnya.
Majnun mendengar itu langsung jatuh luluh bersimpuh dan berlari mencari makam Laila. Tiap meratapi di depan nisan Laila dan merenggang nafas terakhirnya disana
Tutup Baracus secara tragis tapi memukau Sarmin, ia berandai-randai bahwa suatu hari nanti menemukan Laila-nya sendiri. Sarmin pun pulang dan menceritakan kembali tentang Laila Majnun kepada emaknya.
"Mak, aku mau cari Laila-ku."