Gelapnya malam dan dingin tak membuat Sarmin meremas cemas dibawah gemerincik hujan. Ia berusaha berteduh untuk menenangkan hati dan jiwa yang bergentayangan tak mau kembali. Sarmin masih mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi barusan, menggetok batok kepala dan mendekap lutut berjongkok mengigil menahan kantuk. Neuron korteks masih berusaha loading untuk memuat informasi yang tersedia di otaknya. Bagaikan mimpi yang tak diinginkan, Sarmin hanya menititik airmata. Itu tetes yang berlinang di mata itu pertama kali, seorang laki-laki tidak menangis kata emaknya. Teringat emaknya, Sarmin berusaha menyeka tetes airmata di sela-sela pelupuk matanya dan tetap tegar.
Tapi Sarmin tak bisa menahannya karena kejadian yang berselang beberapa jam tadi menyesakkan hati. Ia melihat peristiwa yang akan diingat terus, emaknya diinjak-injak terlindas roda buldozer-buldozer disana. Meruntuhkankan bangunan-bangunan liar dibantaran kali, itu rumah Sarmin dan emaknya dan merupakan harta satu-satunya sejak ia membuka mata di kota ini. Sarmin tak tahu kemana dan tidak mungkin kembali, ia tak punya siapa-siapa lagi. Tak terasa ia terlelap dalam kesendirian merayap menuju subuh, berharap saat membuka kelopak mata ini semua adalah mimpi.
Anak sekecil Sarmin berusaha menghimpun tenaga dan menyatukan kepingan hati yang retak, ia berusaha kuat seperti diajarkan emaknya. Kehidupan memang keras tapi harus terus dijalani sampai memang akhirnya berhenti biarpun entah kemana, kita tak pernah tahu ujungnya. Langkah gontai dan perut melilit kelaparan hampir satu harian Sarmin ber-puasa, ditubuhnya hanya mengenakan kaos oblong kusut, celana kain compang-camping dan sandal jepit yang ujungnya mau putus. Tak ada sepeser uang pun di saku Sarmin, tapi ia tak mau mencuri atau mengambil hak yang bukan miliknya. Emaknya sudah wanti-wanti tidak melakukan itu, sebuah harga diri lebih berharga biarpun kau miskin sekalipun.
Sarmin melakukan skill-nya yang ia dapat dari jalanan, mencoba mengamen diperempatan lalu merah Semanggi. Bermodal tepukan tangan dan suara parau sumbang, Sarmin mencoba mengais receh-receh dari penumpang mewah disana. Terkadang ia dihiraukan karena Sarmin tak berbakat menjadi penyanyi. Koin logam seratus atau lima ratus jadi hal berharga bagi Sarmin untuk bertahan hidup, cukup membeli nasi bungkus di warteg murah meriah.
Menjelang malam, Sarmin yang tidak mempunyai tempat tinggal ini tidur diemperan ruko. Tidak hanya mengamen, Sarmin mencoba mengumpulkan botol-botol plastik atau kardus bekas di tempat sampah. Keluar masuk perumahan elit yang dimana orang-orang kaya itu membuang sisa-sisa kejayaannya, Sarmin memunguti itu semua dan dijual ke pengepul untuk ditukar lembaran demi lembaran rupiah yang terbilang minim tak sebanding atas usahanya.
Tidak hanya dijalanan tapi gerbong-gerbong kereta api jadi tempat bermain Sarmin hingga ia tahu seluk beluk rute KRL yang melintas di ibukota. Bersama anak-anak gerbong lainnya menggantungkan diri dari lalu lalang manusia yang tiap pagi berkeliaran di atas rel kereta api.
Tapi disini Sarmin mendapat teman seperjuangan dalam mengarungi kapal yang tak pernah oleng ini dan tanpa sengaja mengalir berkumpul menjadi satu, mereka menyebut kami gank gokil berisikan anak-anak dipaksa hidup bukan layaknya anak seumuran kami dan disinilah kisah-kisah dungu kami dimulai.
Ada Panjul, anak bungsu berusia 9 tahun dari sembilan bersaudara. Tidak pernah dianggap oleh orang tua yang terjerat kemiskinan, tak berharap untuk pulang ke rumah dan keluyuran di jalanan menjadi pengamen terkadang menjajakan asongan rokok dan permen keliling. Kelakuan aneh Panjul jika tiap pagi, ia ngeloco kelaminnya merasa orgasme berahi sambil membayangkan dada dan pantat tante-tante yang naik angkot. Bahkan bercita-cita jika dewasa nanti mau dan ingin menjadi gigolo.
Lain lagi Lolong umur mungkin sama dengan Panjul tapi badan agak besar, ia ada di sini karena sering dipukul bapaknya jika melakukan kesalahan. Tak tahan atas perilaku binatang bapaknya, ia minggat dan berkelana tak mau pulang. Karena badannya gede, Lolong selalu melindungi kami jika diperas preman. Pernah suatu saat kami dipalak preman terminal, Lolong dengan gagah berahi mengepruk kepala preman tersebut dengan botol bekas bir dan menyuruh kami lari. Lolong berniat jadi satpam besok-besok atau debt colector, kami selalu diajak Lolong untuk menghisap lem kaleng di ujung senja.
Terakhir Garin, dibilang ia paling cerdas daripada kami dan peduli. Garin mempunyai suara emas, dendang gitar dan lantunan merdu menyanyikan Bento-Iwan Fals atau Gerimis-Kla Project. Garin lah yang selalu menanyakan kepada kami apakah sudah makan pagi ini? Jika belum, ia berusaha mencari secuil nasi bagi teman-teman biarpun Garin juga kelaparan. Garin bagaikan pahlawan bagi kami
Aku tak mau jadi pahlawan, aku hanya menjadi orang yang bertepuk tangan di pinggir jalan saat iringan pawai seorang pahlawan
Menurutnya jika semua ingin menjadi nomer satu, siapa yang akan menjadi nomer dua, tiga dan seterusnya. Jadi nomer terakhir tidaklah buruk juga, menjadi akar dan membumi itu lebih baik.