Dear Nathan,
Rangkaian kata-kata ini sengaja kubuat di detik kepergianmu, sebenarnya diriku tak begitu pandai akan hal ini. Tapi harus kukatakan lewat sepenggal kalimat dalam secarik kertas ini. Diriku tak rela kau pergi begitu saja setelah apa yang kita lalui bersama, kenangan-kenangan kita semasa bersama membekas dalam hati ini. Entah perasaan-perasaan menyembul begitu saja, sejak pertama kita bertemu. Detak jantungku terus bergelombang meluap dari tempatnya, tumpah ruah berserakan menunggu kau satukan kembali.
Masih kuingat saat kulihat matamu, begitu berbinar memancarkan gairah yang ingin dijamah. Kau kerlingkan matamu malu-malu menunjukkan tanda suka, pancaran itu yang selalu kuingat. Kau selalu membuatku nyaman didekatmu, aku bisa merasakan debar jantungmu saat kau disisiku. Masa-masa kita belajar dahulu kala, kau jadi penerang disaat aku jatuh dalam gelap. Kau jadi pendengar setiaku setiap kali aku meracau tentang keluargaku.
Kau mau mendengarkan keluhan-keluhan yang tidak mungkin didengar keluargaku. Awalnya aku tak begitu suka untuk disekolahkan di madrasah ini, kata mereka disini aku bisa belajar agama dan menjadi pria sesungguhnya. Bayangkan dulu aku di kota menikmati hinggar binggar berpindah ke kawasan pesisir yang terpencil bahkan sinyal gawai layar sentuh tidak terkunci penuh. Apalagi disini para santri dilarang untuk membawa telepon genggam pribadi hingga tidak dapat berkomunikasi di dunia dengan alasan agar tetap konsentrasi dalam melafalkan ayat-ayat dan mengganggu dzikir bersama.
Keluargaku memang tega dengan diriku, mereka tak mempedulikan keinginan anaknya dan memaksakan kehendak. Aku benci mereka biarpun ini demi kebaikan diriku. Kata mereka harus jadi pria sejati dan jantan bukan lemah gemulai, macam banci. Aku dituduh begitu merasa meradang, aku bukan lemah gemulai atau banci seperti mereka katakan. Aku pria seutuhnya, memakai pakaian normal macam kaos, celana jeans dan sepatu canvas. Aku juga bergaul dengan teman-temanku, memang aku lebih sering bermain dengan kaum hawa. Dulu waktu kecil gemar bermain masak-masakan, dokter dan suster. Itu semua aku nikmati dan membekas dalam dirku.
Aku sebenarnya normal seperti anak pria lainnya, aku juga pernah jatuh cinta pada seorang perempuan. Mungkin dua sampai tiga kali, pertama jatuh hati ke Nadin biarpun sebatas cinta monyet dan itu berlalu begitu saja tertiup angin masa lalu. Hasrat mencintai perempuan masih berlanjut saat menempuh lanjutan sekolah menengah pertama, Yasmin gadis manis lencir kutaksir dan akan kupinang sebagai pacar pertama. Kami hanya saling pandang dan lirik saja untuk mendapatkan perhatian satu sama lainnya, semua itu akhirnya kandas. Karena bapak dan ibu melarang diriku untuk berpacaran, katanya masih anak kecil mau memadu kasih. Disanalah aku memerah memedam amarah disaat diriku menumbuhkan kasih sayang pada lawan jenis malah dipupuskan, aku benci mereka.
Perihal mencari cinta aku tak pernah menyerah, mendekati semester terakhir hati ini berdebar-debar melihat wajah indo Mila. Gayung bersambut dengan manis, aku mampu mendekati Mila mulai jalan bareng, nonton sampai berkunjung ke rumah. Sebatas masih teman dekat, mulut ini masih terkunci untuk mengucapkan cinta. Tapi gejolak dalam dada begitu bergemuruh dan meluap-luap tak terbendung untuk mengungkapkan cinta. Tembakan ala anak cabe-cabean sudah diloloskan dari bibir ini, namun semua itu terbentur akan satu kata saja. Aku lebih suka cowok yang nakal, sebuah tolakan halus yang menghunjam di dada ini. Maka aku tetapkan bahwa aku benci semua wanita, pikiran mereka picik dan kerdil.
Itu semua membekas dan memberi luka mendalam tentang sosok kaum hawa, aku merasa tak bisa mencintai atau dicintai. Tapi semua itu berubah sekejap saat diri ini bertatapan akan matamu, semoga kau membaca keluh kesahku ini dan membalas suratku. Aku tunggu kedatangan dan kesediaan dirimu disini.
Jombang, 9 Mei
Hai untuk engkau yang disana,