Jangan Katakan Itu Rindu

ferry fansuri
Chapter #6

Chapter #6

Sejumput asa di lembayung itu, ada kisah lain dalam hamparan hutan beton itu yang perlu disingkap. Mungkin tabu dan tak layak di konsumsi khalayak umum, Ibukota tak henti-hentinya menceritakan prahara anak manusia. Salah satunya sejumputan kisah dari seorang bernama Limbung, apa dan siapa dia. Ini perihal terpenting yang akan membawa harapan seorang anak bernama Sarmin untuk bertemu Kantil untuk memulai sebuah petualangan.

***

Jakarta sore itu nampak suram berguyur hujan deras, jejak langkah Limbung turun dari bus kota yang membawaku dari Tegal. Pulogadung tampak riuh didalamnya tumpah ruah berbagai manusia dengan tujuan bertaruh hidup di Ibukota. Begitu juga Limbung tergiur, semua orang kampungnya merantau dan berhasil meraih pundi-pundi uang yang mereka keruk bumi Batavia ini.

Saat itu menjelang maghrib dan adzan itu berkumandang, Limbung menyandang tas ransel di pundak berlari kecil-kecil menghindari rintik-rintik hujan. Limbung mencari tempat berteduh sejenak melepas penat sehari terbujur kaku dalam bangku reyot bus tadi. Jam tangan Limbung menunjukan pukul enam lebih seperempat, Limbung rekatkan resleting jaket parasitnya untuk mengusir dingin. Seharusnya lek Giman datang satu jam yang lalu tapi tak satupun wajahnya nongol terminal para urban ini.

Info lek Giman ada lowongan kerja buruh kasar pabrik konveksi di depan warteg miliknya, sementara awal Limbung bisa bantu-bantu di warungnya dulu. Tapi saudara ibu dari Limbung itu tak kunjung datang, perut terasa keroncong dari tadi cacing-cacing dalam perutnya demo minta jatuh. Didompet hanya ada selembar uang kertas sisa kembalian bus tadi sebagai pegangan darurat. 

Percikan hujan berkah dari langit tak mau berhenti sedikit, terus membasahi aspal dan kupandangi seliweran manusia urban mengais rejeki dengan berbagai cara. Detik berganti menit, menit terus bergulir dan Limbung masih berteduh disana. Limbung merogoh kertas disaku celana jeans, disitu tertera nomer lek Giman. Limbung mencari telepon umum untuk menelpon tapi sial nada saat dihubungi terdengar tut..tut..sibuk dan terus dihubungi masih tak tersambung atau mungkin salah nomer. Limbung pun menyerah dan menyadari bahwa nasibnya akan terkatung-katung di kota ini.

Penantian tak pasti, Limbung memutuskan untuk beranjak dari tempat berteduh menuju masjid sekitar terminal untuk berjamaah. Tak jauh sekitar itu Limbung melangkah untuk wudhu, dilentinglah ujung celana jeans dan membasuh muka. Terasa segar menghapuskan penat dan galau itu, shaf depan telah penuh saat memasuki masjid. Barisan kedua Limbung isi berbarengan jamaah lainnya, tas serta jaketnya diletakkan samping belakang bersama barang bawaan jamaah lainnya.

Tapi ada gejolak gelisah di dada Limbung, tak tahu apa itu sewaktu sujud dan ruku. Limbung merasa tak tenang untuk menjalankan ibadah maghrib ini. Seperti ada banyak mata mengawasi dan memandang dirinya, mata-mata itu menghakimi bahwa kau orang asing disini dan selalu cari pekara sendiri. Aduh..kenapa otak ini bergelut imaji-imaji bodoh itu atau gara-gara perut belum diisi sesuap nasi. Kegalauan itu terus merayapi sampai diakhir salam. Ada apa gerangan ini? Apakah pertanda buruk?

Itu cuma prasangka-prasangka negatif dihasilkan korteks otaknya, ditambah ketidakpastian melanda dirinya juga. Limbung coba memenangkan diri dengan berdoa. Selesai memanjatkan keinginan dunia dan akhiratnya, langsung Limbung beranjak dari tempatku. Tapi betapa terkejutnya Limbung, tas dan jaket yang ia letakkan di belakang raib tanpa bekas. Kaget bukan kepalang, tas berisikan baju, ijazah dan nomer telepon lek Giman hilang. Limbung mencoba mencari kesana kemari untuk memastikan apakah ia yang salah meletakkan, keluar masuk tapi tas butut itu tak ia temukan. Bertanya orang sekitar itu juga tidak menemukan jawaban yang memuaskan, akhirnya Limbung tertunduk lemas dan duduk di pojok masjid itu.

Tas itu pasti dimaling orang tapi kebangetan tempat ibadah jadi ajang kriminal, ah apes aku hari ini. Sudah perut lapar tak terkira dan barang satu-satunya juga lenyap, satu hal yang Limbung sesali bukan tas itu tapi nomer telepon didalamnya buat komunikasi. 

Bagaimana aku menghubungi lek Giman, sialnya juga sepatu yang aku pakai juga digondol maling sial itu klop penderitaan saat ini.

Limbung hanya menghela napas tapi semua kesialan ini ada sedikit keberuntungan, marbot masjid melihat Limbung merasa kasihan. Dia memberikan sandal jepit untuk Limbung pakai sebagai pengganti sepatu yang hilang tersebut.

Malam sudah beranjak menuju peranduan, rasa lapar terus menggerototi. Dompet coba aku buka kembali, satu lembar uang lima puluhan dan hanya itu yang tersisa. Inisatif untuk memenuhi reaksi alami, Limbung memutuskan untuk mencari warung terdekat. Diluar belum reda juga, bulir-bulir hujan masih terus berjatuhan  

Limbung masuki gang itu, tampak gelap hanya temaram lampu pijar 5 watt diujung. Limbung berharap ada warung makan diujung penghabisan lorong ini, perut terus melilit. Limbung meniti dikit demi dikit kaki menerpa genangan air akibat hujan tak henti-henti tadi.

"Stop!!"

"Kau siapa?"

"Kenapa malam-malam masih berkeliaran disini?"

"Orang mana kau?"

Suara itu tiba-tiba menggelegar dikuping Limbung, muncul dua orang pria perawakan sedang. Salah satu berambut panjang dan berjaket jeans levis, temannya wajahnya tertutup topi terlihat menunduk.

"Numpang lewat bang" sahut sekena Limbung

Pria berambut panjang itu melihat dari ujung kaki sampai rambut, meneliti satu persatu seperti tidak percaya.

"Disini ada aturannya bung, kami sebagai pemuda karang taruna disini menjaga keamanan. Tentu curiga jika ada orang asing yang mondar-mandir sembarangan, banyak kasus pencurian dan maling akhir-akhir ini" pria ini berkacak pinggang.

"Maaf bung, mana tanda pengenal anda?"

Lihat selengkapnya