Setiap kesulitan selalu ada kemudahan, itulah yang terjadi pada Limbung yang sempat terlunta-lunta saat mendarat di Ibukota. Setelah ini Limbung akan menjalani hal berbeda dalam hidupnya, tanpa sepeser uang sedikit hanya baju yang melekat ia terpaksa jalan kaki mencari alamat lek Giman. Nomer telepon yang tertera dalam kertas kecil itu hilang bersamaan tas miliknya yang digarong maling saat ia sembahyang di musala dekat terminal.
Limbung hanya pernah mendengar perkataan lek Giman bahwa warteg miliknya ada didepan pabrik pengepakan plastik.
"Ciledug itu daerah ramai, warungku tak pernah sepi"
Hanya itu yang diingat Limbung dari mulut paklek-nya, ia memukul-mukul kepala untuk menemukan jawaban dari masalahnya. Limbung terus berjalan menyusuri jalanan yang entah letaknya dimana, kadang ia berhenti sejenak untuk duduk istirahat karena kaki-kaki terasa pegal.
Tanpa alamat jelas, Limbung mereka-reka warung milik lek Giman. Didalam otaknya hanya terurai tiga kaki kunci yaitu pabrik, ramai dan Ciledug. Dimanakah itu semua terasa asing bagi Limbung, satu-satunya jalan mengorek informasi dari sekitar.
Limbung mendapatkan secuil info dari tukang parkir bahwa arah ke Ciledug hampir 10 kilometer dari tempatnya sekarang. Secercah harapan di raup mukanya, seperti ada energi lebih merambat dikakinya. Semangat saja ia punya dan tak lebih dari itu, terus berjalan dan jalan. Hampir 2 jam lebih berjalan dengan sandal jepit pemberian marbot masjid, sepatu miliknya juga diciduk maling juga.
Sesampainya di Ciledug, Limbung mulai kebingungan tujuh keliling. Area seluas ini dimana letak warteg milik paklek-nya, mau tak mau ia harus bertanya sana sini. Mulai dari anak kecil, penjual cilok sampai satpam kompleks perumahan. Jawaban yang simpang siur dan memberikan arah tak karuan mengenai pabrik pengepakan plastik itu. Ada yang ngomong di ujung jalan, ada juga yang menebak-nebak ke arah timur bahkan bloon saat ditanya.
Apa boleh buat Limbung harus terus bergerak, hari mulai gelap menjelang sore. Nasib memang tak bisa bisa duga, saat kelelahan akan berjalan. Limbung mendapati jalanan sudah mulai sepi, lalu lalang terasa minim. Didorong kelelahan yang amat, Limbung bergerak pelan dan sedikit mata berkunang-kunang ia melihat didepan ada bangunan kecil dengan kursi kayu panjang.
Diotaknya hanya keinginan untuk merebahkan badan yang letih, perduli setan dalam hatinya. Tanpa hitungan detik, Limbung menghempaskan dirinya di kursi itu dan terlelap seketika. Hari mulai mendekati subuh, sinar mentari mengintip malu-malu. Limbung masih tertidur disana dan wajah kusut. Mulutnya menganga hebat, air liurnya menetes membasahi sekujur tubuh. Kedua tangannya lunglai hampir menyentuh tanah, aktivitas manusia telah mulai memadat.
Tak disadari oleh Limbung, adegan tidurnya dipelototi orang-orang yang melewati dirinya.
Kasihan, pasti capek banget itu sampai segitu
"Ini siapa? Seperti orang pingsan"
"Ada yang kenal nggak?"
Semua orang berkerumun bagai menonton sirkus jalanan gratis, semakin lama semakin banyak yang berdatangan. Riuh bergemuruh celoteh anak manusia yang penasaran. Awalnya hanya melihat-melihat tapi ada yang mulai usil, dengan ranting kering mereka menyodok-nyodok ke tubuh Limbung untuk memastikan apakah ia hidup atau mati.
Saat kerumunan itu semakin ramai, pintu depan mereka terbuka tiba-tiba dan muncul seorang tua dengan wajah tirus.
"Hei ngapain kalian ada disini. Bubar..bubar !"