Jangan Katakan Itu Rindu

ferry fansuri
Chapter #8

Chapter #8 Diam Sunyi Menjadi Mayat

Sepenggal kisah lain sebelum ini terjadi semuanya...

Pekerjaanku sebenarnya sederhana, membersihkan semua hal yang tidak diinginkan orang atau mereka ingin membuang kenangan yang tak mau disimpan. Bukan pekerjaan ideal untuk menghidupi sebuah keluarga, ketidakberdayaan ini mengais sisa-sisa di puing kotoran manusia disana. Entah mengapa bagi mereka, sampah-sampah ini adalah musibah tapi bagi kami ini adalah seonggok emas. Kami hidup dari timbunan bekas popok bayi, sisa makanan, pakaian tak laik pakai, barang elektronik apkir atau jika beruntung kadang kami mendapatkan uang atau koin logam dalam serakan sampah disana. Bahkan ada yang pernah menemukan selembar dollar seratus ribu, Dower kala itu mendapatkan uang dollar itu di terik siang itu. Dower begitu riang gembira dan membawa dollar itu ke rumah. Ditunjukkan kepada istri dan anaknya, mereka melihat itu bagaikan menjadi orang kaya baru. Mereka beli pakaian baru, bayar utang sana sini dan makan sepuasnya, tak sampai sehari uang itu habis. Esok harinya mereka kembali menjadi pemulung.

Aku dan Dower adalah sebagian dari orang-orang yang menggantungkan diri dari serakan sampah di Bantar Gebang itu. Mungkin nasib yang menakdirkan diriku memulung sisa-sisa kenangan manusia yang tak berguna itu. Sebenarnya aku tak pernah menyalahkan takdir sekalipun, memang dari garis keturunan seperti itu. Dimulai dari kakek nenek-ku, mereka menggelandang dari satu kota ke kota lainnya tanpa mempunyai rumah dan dipertemukan keadaan. Maka lahir bapakku dengan kondisi dibawah jembatan tapi nasibnya juga tak begitu bagus. Digusur dan menjadi manusia gerobak, kesana kemari dan mencari sesuap nasi dengan mengorek-gorek sampah demi botol plastik yang bisa ditukar ke pengumpul. Bagi kami 5 ratus perak itu berharga dan bapak pernah berkata.

"Kau punya bagianmu sendiri nak, jangan kau ambil bagian orang lain"

Kata-kata itu selalu aku camkan dalam isi kepala ini, kita boleh miskin tapi bukan miskin mental. Oleh karena itu aku lebih memilih berkotor ria daripada begal, jambret atau kongkalikong demi dalih manipulasi.

Orang bilang ini mental pemulung dan akan seumur hidup menjadi pemulung. Tapi kata semua orang itu tak pernah aku pedulikan karena selama ini aku menikmati semuanya, sebuah pekerjaan yang menyenangkan

Semua ada disini, hal yang bilang menjijikan dan bikin mual tapi tidak buatku. Gundukan sampah itu adalah surga bagiku, aku tinggal memilah plastik dan logam. Jika sudah terkumpul berat 1 kilo maka dapat ditukar 10-15 ribu, sejumput rupiah yang aku bawa buat Surti dan anakku. Itu hanya cukup untuk makan sehari untuk kami sekeluarga, hari ini kami makan tapi besok nyari kembali.

Itulah siklus kami tiap hari yang harus dilalui, pergi pagi pulang sore. Bergelut dengan kotoran jadi makanan sehari-hari, beruntung kami diberi ketahanan tubuh yang kuat. Aku, surti serta anakku tak pernah sekalipun sakit biarpun petak kami dekat sekali dengan tempat pembuangan sampah itu, semua kami syukuri. Kami makan dengan lahap hanya sepiring nasi lauk tempe dan sedikit sambel teri.

Terkadang pekerjaan ini juga mengandung resiko tinggi, jika kau lihat gundukan sampah dari sampah rumah tangga yang hampir menyentuh 1 ton perhari bak gunung himalaya. Hampir puluhan orang menggantungkan hidup dalam gunung sampah itu tapi juga membahayakan hidup yang bekerja diatasnya Kemarin Parjo tewas oleh lungsuran sampah.

Saat itu Parjo sedang mengorek-gorek, saat itu truk sampah datang dari ibukota dan menggangkat bak sampah hidroliknya. Posisi Parjo waktu itu ada dibawah dan ia tak dengar ketika diteriak teman-temannya.

"Parjo.Parjo awas diatas kamu!"

"Awas!! Jo !!"

Teriakan-teriakan itu tak sampai ke telinga si Parjo, seperti ada yang menyumbat gendang pendengarannya. Tak ayal gumpalan berton-ton bergetar lengser menggasak tubuh cungkring Parjo. Ia menghilang begitu saja dibalik tumpukan sampah, kami sampai 3 hari 4 malam untuk mencari mayat.

 Menggali dan menggali.

Membongkar untuk menemukan lubang dan kemudian membuat lubang kembali.

Semua itu pemandangan biasa yang selalu kami temukan di Bantar Gebang, banyak mayat-mayat yang dibuang disini. Terkadang kami menemukan onggokan orok bayi dibungkus kardus atau potongan-potongan korban mutilasi. Entah itu kepala, kaki atau organ tubuh lainya yang dibungkus plastik untuk menghilangkan jejak. Harga manusia jaman sekarang begitu murah bahkan sangat murah layak ayam potong di pasar.

Tapi kami selalu membersihkan itu semua dan begitu rapi, jasad-jasad itu tak bertuan itu kami bersihkan dan dibungkus kain kafan kemudian dikuburkan tanpa prosesi apapun. Kami sendiri mempunyai tempat sendiri yang sering kami namakan Lubang Buaya. Kami tak pernah melaporkan ke pihak berwenang karena tak mau berurusan dengan mereka. Kebanyakan dari kami adalah pendatang yang tidak mempunyai selembar tanda pengenal. Kekuatiran kami, jika polisi masuk area pemulung ini dan kami diciduk maka hilanglah mata pencaharian. Biarlah kami seperti ini.

Akupun demikian, tak mau anak dan istriku digusur. Pendatang gelap seperti kami bukan rahasia umum. Segelintir dari kami hidup dan makan di tempat pembuangan sampah ini, membangun lapak-lapak tanpa ijin. Jika digrebek polisi dan diekspos, itu yang tidak kami inginkan dan ini tetaplah jadi rahasia.

Mengenai mayat-mayat itu terus berdatangan dan kami selalu membersihkan, kalaupun beruntung ada dompet berisikan seratus ribu. Adapun tanda pengenal tak kami pedulikan, kami bakar dan itu tak ada gunaya bagi kami. Mungkin kami sedikit kejam dan sadis untuk tidak melaporkan atau turut andil mengungkapkan semua. Tapi buat apa, itu tak menguntungkan bagi kami. Disini kami lebih baik diam dan mencari sesuap nasi, lagipula bukan kami pelakunya. Semua itu hal yang biasa saja bagi kami.

Sore itu tampak beda, larik-larik awan terasa beku tak bergerak. Hitam pekat tapi bukan mau hujan. Aku sendiri merasa heran pertanda apa ini, tak biasa. Sewaktu malam merambat di peraduan, hening begitu sunyi. Tak satupun suara berkotek atau bercicitan, dingin begitu menyergap tubuh ini dan hampir meringkuk di pojok kamar. Asih-istriku melihat itu merasa keheranan.

 "Bang, mau aku bikinkan teh hangat?"

Aku tak menjawab dan mengibaskan dagu kekanan-kiri untuk tanda tak perlu. Aku hanya merasa tak biasa dan mencoba keluar dari gubuk kecil kami, aku melihat anakku masih tertidur pulas memeluk guling.

"Aku keluar sebentar cari angin"

Aku pamit kepada istriku dan melangkah ke perkampungan kumuh ini, merekat jaket dan menyalakan putung rokok sisa hasil memulung tadi. Barang sisa memang terasa nikmat, sudah gratis dan tinggal ambil.

Kutengok jam tanganku menunjukan jam 1 malam, semua penghuni tempat pembuangan sampah ini telah terlelap. Saat langkah ini terus menyusuri jalan becek di perkampungan sampah ini. Gelap gulita, disini listrik adalah hal yang langka dan cahaya minim. Gubukku saja cuma ada lampu 5 watt tanpa alat elektronik lainya macam televisi, itupun listrik hasil nyolong dari perumahan dekat tempat pembuangan sampah ini. Hasil manipulasi oknum PLN dan dibagi ke petak yang membutuhkan, retribusi iuran ditarik 5 ribu rupiah tiap bulan. Itu cukup bagi kami agar tak melihat dalam kegelapan.

Lihat selengkapnya