Jangan Katakan Itu Rindu

ferry fansuri
Chapter #9

Chapter #9 Tak Ada Hantu-Hantu Yang Ingin Menetap Disana

Apa yang kau harapkan dari seorang anak kecil, pikiran mereka tak lebih untuk terus bermain. Begitu juga Kantil, mungkin ia tak ingat lagi apa yang terjadi padanya. Kehilangan sanak keluarganya tak mungkin ia ingat, umurnya yang beranjak 4 tahun itu tak cukup memori otaknya yang untuk mengingat.

Kantil berada di sebuah tempat yang menurut ia adalah surga, tempat bermain tiada habisnya. Disana ada tempat sebayanya yang mengajak bermain tanpa rasa susah sama sekali. Hidup sebatang kara saat itu diambil, bagi Kantil tak memikirkan hari esok. Disana seperti tidak ada nestapa, terus gembira biarpun sesungguhnya ada kabut ilusi menyelubungi.

Sebuah tempat di bawah jembatan yang terpencil dan kumuh, bekas bangunan tua yang terbengkalai. Tempat yang dimana hantu-hantu juga tak mau menetap lama karena ketakutan mereka apa yang ada didalamnya sana. Terlihat tak terawat dengan gundukan rumput menggunung dan coretan vandalisme ada di mana-mana, itu menyamarkan apa yang didalamnya. Jika saat malam hari terlihat gelap gulita tapi didalam ada sebuah pelita kecil yang terus dipelihara jangan sampai keluar dari wadahnya.

Didalamnya ada puluhan anak sebaya Kantil yang tidak jelas latar belakangnya, ada yang dipungut dari jalanan atau dibuang oleh keluarga. Mereka yang ada didalam adalah orang-orang terbuang dan dianggap tak berguna oleh keluarga mereka tapi di mata Dulmatin berbeda.

"Mereka adalah harta yang berharga. Jika mereka dibuang, biar aku menampungnya. Jika mereka tak diinginkan, biar aku bikin bernilai"

Dulmatin dimata Kantil dan teman sebaya bagaikan bapak yang tak pernah dimiliki tapi sesungguhnya hanya begundal cerdas yang mampu melihat situasi dan memanfaatkan itu semua. Dulmatin memang berasal dari jalanan, bahkan lahir dari hasil kerasnya aspal ibukota. Semua orang tak tahu persis ia berasal, dilahirkan dari rahim siapakah. Konon ia dipungut oleh keluarga angkat dan hanya hitungan malam ia bantai semua karena masalah sepele. Dulmatin tak sengaja memecahkan gelas di dapur, dihardik bapak angkatnya. Emosi naik pitam dipukul kepala bapaknya meja yang terbuat kayu jati. Kekuatan darimanakah itu untuk seorang anak kecil. Ia bakar rumah orang tua angkatnya dan pergi tanpa meninggalkan penyesalan sedikitpun dalam rongga dada. Itu legenda yang diceritakan dari mulut ke mulut yang membuat keder hanya mendengar namanya.

Dulmatin tak segan-segan melakukan hal yang tak masuk akal untuk memperoleh semua keinginan. Ibarat pemulung, Dulmatin adalah pemulung ulung. Ia tak main uang receh tapi ikan kakap, anak-anak itu disulap menjadi tambang emas. Mereka didandani untk menarik belas kasihan dan disebar ke berbagai perempatan lalu lintas. Pagi diturunkan dan menjelang malam diangkut truk yang khusus dikendarai anak buah Dulmatin untuk menjemput.

Tiap anak harus menyetor ke Dulmatin jika tidak akan dipukuli dan dimasukan ke ruang isolasi dan tak diberi makan. Kejadian itu terulang lagi saat Sindu teman sebaya Kantil pulang tak membawa apa-apa.

"Dasar tolol, kerjaan kamu ngapaian saja.Tinggal menengadahkan tangan!"

Sebuah tamparan mendarat di muka Sindu hingga ia terpelanting ke samping, Dul matin masih memaki-makinya.

"Kalian lihat, ini sebagai contoh bagi yang malas bekerja. Apa aku kurang baik bagi kalian?!"

"Aku yang menyediakan makan saat kalian kelaparan, aku berikan tempat berlindung daripada kalian mengelandang tak jelas diluar sana !"

"Jadi jika kalian ingin tetap hidup enak seperti ini, turuti perkataanku tanpa ada bantahan sedikitpun"

Ucapan Dulmatin mengema di seluruh bangunan itu dan membuat ciut nyali yang mendengarnya.

Sindu memang tak pernah kapok apa yang diperbuat, ditampar atau dikurung di ruang isolasi tanpa makan tetap saja membandel.Bahkan pernah berusaha melarikan diri dari tempat itu tapi berhasil ditemukan kembali oleh anak buah Dulmatin. Mata Dulmatin ada dimana-mana, Sindu ditangkap saat ia tertidur di terminal. Kemudian dihajar habis-habisan oleh Dulmatin, Kantil melihat itu merasa kasihan dan sering merawat luka-lukanya.

"Kenapa kau lakukan itu Du?"

"Apakah kau tak betah disini?"

Sindu hanya terdiam dan memandang ke atas yang plafon mulai ambrol. Ia hanya meringis menahan sakit saat Kantil mengopres memarnya dengan air es.

"Ini bukan tempat kita Kan?"

"Kau tak merasa begitu? Kita diperlakukan sebagai budak bukan layaknya manusia"

Perkataan Sindu tak dimengerti Kantil, otaknya tak menjangkau itu semua. Hal yang ia tak mengerti mengapa Sindu harus pergi dari tempat ini untuk sesuatu yang tak jelas diluar sana.

Lihat selengkapnya