Sekelebatan peristiwa pedih bergentayangan dalam kehidupan Sarmin kecil, saat ini menggelandangkan tanpa keluarga atau saudara di rimba beton ibukota. Hidupnya nomaden karena rumahnya telah hilang luluh lantah digusur oknum-oknum disana. Ibunya korban amuk massa dan teman-temanya diciduk dinas sosial entah bagaimana kabarnya sendiri. Ia sendiri tak punya tanda penduduk dan bisa incar sewaktu-waktu lembaga anak untuk diadopsi di rumah yatim piatu. Entah berapa kali Sarmin berlari.
Tidur dimana saja mulai emperan toko, pinggir trotoar, terminal ataupun stasiun. Pakaiannya juga tidak berubah hanya kaos oblong, celana kain dan bersandal jepit untuk alas kakinya. Untuk memenuhi kebutuhan perut yang melilit, Sarmin tak mau mencuri karena pesan emaknya itu jangan mengambil bukan haknya. Melanjutkan pekerjaan yang sudah menjadi keahliannya menjadi anak jalanan. Mengamen, mengumpulkan botol plastik bekas, jualan koran, buruh cuci motor atau semua yang halal bukan meminta-minta atau berbuat haram lainnya. Perihal harga diri itu terpenting dalam hidup.
Tatkala sore itu Sarmin sedang mengorek-orek di penampungan sampah Bantar Gebang, pria itu datang padanya. Perawakan tinggi gempal, hitam, berhidung besar, berambut ikal gondrong dan berjaket kulit. Kemudian dikenal sebagai Dulmatin, mendatangi Sarmin sambil berjongkok.
"Maukah kau ikut denganku?"
"Kau tak perlu jadi seperti ini"
"Tempatku lebih cocok untukmu"
"Banyak makanan dan minuman gratis, pastinya tempat tidur yang nyaman"
Dulmatin mengulurkan tangan untuk ajakan, Sarmin tak begitu menerimanya. Ia hanya menatap bola mata Dul Matin yang terlihat hitam pekat, sepertinya Dul Matin paham ketidakmengertian Sarmin. Ia menggangguk dan menunjukkan truk terbuka diujung sana, Sarmin melihat truk itu terdapat anak-anak sebaya yang duduk diatas bak itu. Wajah-wajah mereka merekah gembira dengan menyungging senyum, pemandangan tersebut membuat tertarik hatinya.
Sepertinya mereka riang gembira dan merasa tempat ini tak layak bagi mereka tinggal bisik Sarmin pelan.
Waktu tak lama Sarmin pun duduk diatas bak truk itu meninggalkan tumpukan sampah yang menghidupinya sehari-sehari menuju cahaya terang. Truk melewati deretan gedung menjulang beserta perlengkapan didalamnya, menyusuri jalan aspal yang tak lagi mulus bercampur uap asap kendaraan bermotor. Truk terbuka penuh anak itu berbelok di tikungan tajam dalam perkampungan kumuh dibawah jembatan flyover, terlihat disana bangunan semi permanen yang berderet-deret dengan lapangan luas. Ada sebuah bangunan batu bata yang kosong ditengah-tengah, mungkin terbengkalai dan tak huni orang karena begitu banyak coretan grafiti dan rerumputan tinggi.
Sarmin melihat disana begitu banyak anak-anak seusianya bermain, bersenda gurau, tertawa dan gembira. Apakah ia menemukan rumahnya kembali? Apakah ini tempatku?. Semua anak turun dari bak truk itu, antara perempuan dan laki-laki dipisah.
"Dengar, ini adalah rumah kalian dan tak perlu lagi tidur dijalan"
"Disini kalian berada !!"
"Tidak kehujanan, kepanasan, kelaparan atau dikejar-kejar lagi"
"Kalian sudah pulang"
"Ini rumah kalian"