Berjam-jam mual masih berputar-putar di perut ini seperti tak mau berhenti terasa muntah, adegan demi adegan seronok tersaji di pelupuk mata. Sarmin tak bisa begitu saja melupakan peristiwa aneh yang ia alami beberapa detik tadi, gadis jadi-jadian itu menghantui tidurnya. Sarmin tak habis pikir ada juga makhluk macam itu dan hidup. Sarmin berusaha melupakan itu, separuh perjalanan menuju kota buaya dan hiu akan menemui finish. Bis ekonomi yang sempat ngadat tersebut telah melaju kembali dan kembali penuh sesak.
Roda-roda aus bis itu menjejakkan di terminal Purabaya, Sarmin hanya transit sementara untuk berpindah atau mencari tumpangan liar ke pulau Dewata. Syukur-syukur ada truk yang bisa ditumpangi gratis, uang yang digenggam Sarmin pun menipis mungkin cukup untuk makan. Saat Sarmin turun di terminal akhir Purabaya, ia kebingungan untuk kemana dan tak bisa sembarangan untuk menghabiskan uang bekalnya.
Hari sudah menjelang sore, ufuk matahari sudah mulai menipis dibalik awan. Kegelapan berganti lampu-lampu jalan metropolitan, Sarmin berjalan gontai karena tak menemukan tumpangan truk atau bis dan perut keroncongan bertalu-talu minta jatah. Tapi Sarmin hanya mengenggam beberapa receh dan lembaran rupiah yang perlu ia hemat.
Melewati area patung Sura dan Baya yang legendaris itu, Sarmin melihat diujung jalan itu remang-remang warung. Berharap itu warung makan hingga dapat mengobati rasa lapar yang sudah melilit perut di tubuhnya yang kurus. Sebungkus nasi dan teh panas dalam plastik sudah dalam tangan, Sarmin pun membayarnya.
Saat keluar warung tersebut dan berusaha mencari tempat nyaman untuk melahapnya, tas plastik kresek yang ditentengnya tiba-tiba raib. Ternyata ada tangan nakal mencoleng makan malam itu, sesosok yang tinggi hampir sama dengan Sarmin itu berlari menjauh membawa bungkusan miliknya.
"Hei kamu !!"
"Berhenti!!"
"Kembalikan nasi bungkusku"
"Dasar maling sial"
Sarmin gelagapan serta tak ingin kehilangan jatah makannya, ia menghimpun tenaga secara sukarela untuk berlari mengejar maling nasi bungkus itu.
Napas tersenggal-senggal tak imbang dengan sandal jepitnya yang hampir koyak tergerus aspal, Sarmin terus berlari mengejar. Ia merasa tak asing tentang perihal berlari ini, tak kali ini beda. Sarmin terbiasa lari dari kejaran atau teriakan anjing-anjing kota tapi ini mengejar nasi bungkus yang mungkin makan terakhirnya.
Demi nasi bungkus didepan mata, Sarmin terus mengejar penjambret yang tega. Olahraga malam yang dilakukan Sarmin membuah hasil. Jambret nasi bungkus itu tersudut sebuah gang, ia juga tanpa kembang kempis mengimbangi kejaran Sarmin yang tiada kenal menyerah.
"Lari kemana kamu?"
Sarmin merasa nyakin kali ini nasi bungkusnya ia dapat, air liurnya menetes ketika membayangkan hal tersebut. Saat tangan itu mencoba merebut bungkusan nasi, Sarmin melihat sorot mata kesedihan dan kepedihan yang sama dengan miliknya.
"Maafin aku!!"
"Aku hanya kelaparan"