Beruntung kali ini diriku mendapatkan tumpangan gratis ke timur biarpun nahas bergumul dengan bau bacin truk pengangkut ikan dan hasil laut lainnya. Kudapati diriku disini berkat obrolan sana sini di pasar ikan Pabean. Sang sopir berkehendak murah hati untuk mengangkutku sekalian pulang ke arah timur setelah melakukan dropship ikan pesanan para pedagang pasar. Meninggalkan kota Pahlawan beserta kenangan didalamnya.
Melarung mimpi-mimpi bersamaan kantuk yang amat sangat dan moga saat kubuka mata ini ujung pelabuhan tapal batas timur membentang. Perjalanan memakan waktu terbalut penat, aku hanya memeluk tas butut serta menyandarkan kepala ke lonjoran bak kayu sampai tetesan iler membekas. Angin sepoi-sepoi menerpaku, terkadang aku mengigil merapatkan kaki tanganku. Bertahan dengan tubuh kecil kering kerontang berisikan sistem imun melindungi diriku, itu saja yang kumiliki.
Tak terasa truk penggangkut ikan itu menyandarkan badan dipinggir kota berbatasan pelabuhan Ketapang dan itu tujuanku selanjutnya. Pak sopir yang baik hati itu membangunkanku dan menurunkan disana karena ia akan kembali mengantarkan ikan ke kota lainnya
Kudapati diriku dipinggir jalan kota tapal kuda yang masih menggunakan bahasa osing. Masyarakat berbau klenik bertebaran disini dan dijadikan pedoman bercampur agama, tradisi purba yang sulit diubah. Senja itu berubah begitu cepat, raib ditelan raja kegelapan dan diganti dewi rembulan. Aku masih kebingungan kemana langkah ini harus menapak, sesi pelabuhan belum bisa dilewati dan antrian panjang meluar sampai pintu masuk. Aku sendiri belum mendapatkan kembali kendaraan bebas penumpang liar layak diriku.
Cacing-cacing mulai berteriak demo macam pelajar-pelajar anak bangsa yang berteriak-teriak mengacungkan tangan kemudian hilang ditelan bayang realita. Lelah menggelayuti dipundak, guncangan-guncangan merambat dari ujung jempol ke ubun-ubun. Ingin rasanya kuhempaskan badan ini di sebuah kasur empuk tapi apa daya mata memandang kedepan hanya aspal. Kelopak mata ini terus mengatup dan mulut menguap berbanding lurus dengan rasa lapar. Diriku tidak lagi berspekulasi untuk berkeliaran kota sunyi ini, niat mencari warung untuk mengisi perut keroncongan diurungkan. Lebih baik untuk mencari tempat untuk meninabobokan raga agar segar menyongsong esok yang gaduh.
Sebuah pelataran paving bangunan kosong hanya lampu 5 watt kerlap kerlip meredup kehabisan pita filamen, ini akan menjadikan tempat menyadarkan tubuh letih ini. Dingin tak bisa di tolak, nyaman bukan pilihan. Saat ini yang kubutuhkan hanya memejamkan mata ini berharap rasa lapar, lesu dan loyo hilang sekejap. Biarpun tempat itu sering berkeliaran kecoa dan tikus yang seakan ingin bersenggama denganku malam ini.
***
"Sarmin...Sarmin bangun nak, sudah waktunya"
Sayup-sayup kundengar suara emakku yang telah tiada memanggil, rasa kangen menggeliat kembali. Lama tak kudengar suara lirih merdu tapi suara menggema terus menghilang diujung telinga.
"Emak, jangan pergi!!"