Masih ada rasa menggelitik di tengkuk ini, bulu kuduk terus meremang tak mau hilang. Bayangan ngeri masih menjadi kabut di kornea mata ini, aku menghilangkan dengan memandangi biru laut di atas dek kapal penyebrangan. Akhirnya aku meninggalkan kota tapal kuda menjauh dari Ketapang menuju Gilimanuk demi menginjak pulau para dewata disana. Peristiwa serta kejadian ganjil dan menyesakkan itu kuhempaskan tak ingin mengingatkannya kembali.
Aku menyaru menjadi bocah penjaja asongan bisa menyelinap dalam kapal dengan gratis. Keramaian penumpang dan kendaraan memasuki kapal, petugas tidak akan menghiraukan diriku. Dalam hembusan angin laut yang menyeruak ke wajah ini yang kepet jarang mandi membuat segar. Perjalanan masih panjang menyusuri selat Bali, hal yang kupikirkan hanya setelah turun ke Gilimanuk. Sesuatu yang muskhil jika jalan kaki menuju Kuta, magnet wisata turis itu. Ah..entahlah pasti ada cara dan jalannya sendiri, sekarang biarkan aku rebahkan tubuh ini untuk terlelap dibungkus deru gelombang asin.
Tak lama kemudian kapal Ferry bersandar di tepian Gilimanuk memuntahkan seluruh isinya, tumpah ruah keluar bak semut berbaris untuk menemukan gula. Aku ikut menyemut diantara mereka, berbaur dan hilang dari pandangan mata. Bergulat untuk keluar dan bebas pemeriksaan petugas, aku berhasil lepas dan berada di pintu keluar. Diriku masih celingak-celinguk mungkin truk atau tumpangan yang baik hati, tangan kiri dengan jempol ok ditepi jalan tak berhasil membuat kendaraan yang berseliweran untuk mengangkutku. Bahkan aku harus rela mengibarkan kaos oblong kucel untuk dilambai-lambaikan sambil bertelanjang dada yang tinggal kulit berbalut tulang belulang.
Satu jam, dua jam sampai malam sudah mengerubuti diriku dan akhirnya terpojok duduk di trotoar jalan tanpa satupun tumpangan bisa kugaet. Hampir mata ini mengatup dan ingin bersembunyi dalam kantukku, tiba-tiba sorot lampu mobil berhenti tepat didepanku.
"Masuklah nak !"
"Kau ingin arah mana?"