Kumasih disini memandang gemerlap matahari di larik langit, jika kau disini maka akan kukisahkan padamu dan kubisikkan indahnya itu Kantil. Andai kau disini duduk disamping melihat semua ini. Kulihat anak-anak kecil bermata biru dan berkulit putih pucat berbintik merah berlari menyusuri derai ombak menyibak pasir pantai Kuta. Para beach boys mengosok pantai selancar sambil menunjukan badan yang hitam six pack jadi daya tarik sensual bagi turis bule.
Tak terasa terik matahari sudah diubun-ubun dan aku cuma berkeliaran genangan pasir, aku lupa harus menghubungi seseorang diujung telpon. Secarik kertas berisikan nomer yang kudapat seorang kenalan sewaktu di Malioboro, kucoba mencari box telpon koin. Tapi tak kutemukan karena box telepon koin langka dan jika kudapati pasti bobrok. Gagang hilang atau dibobol tangan-tangan jahil untuk recehan seratus rupiah, aku sampai blusukan masuk gang Poppies juga semua kondisi nahas. Jaman sekarang box telpon koin sudah tergantikan wartel modern, bisa telpon berjam-jam tanpa kuatir antrian dibelakang.
Kurogoh sesuatu didalam saku celanaku, terlihat 5 koin terdiri 25, 50 sampai 100 rupiah. Sial kataku, ini saja uang yang ada pada diriku. Aku hanya tepok jidat tapi diujung jalan itu terlihat wartel. Tapi hanya memandangi depan pintu wartel dan mematung. Keraguan masih menyelusup di hati ini, cukup atau tidak untuk menelpon. Detik meluncur ke menit bergulir hampir ke jam, kaki masih mengakar di aspal.
Tiba-tiba pintu wartel itu terbuka, seorang pemuda kisaran umur 20 puluhan keluar dan memanggil kearahku. Pemuda ini mempersilahkan diriku masuk wartel
"Masuklah kawan"
Sapaan ramah kepadaku bagai magnet, aku tersedot tak sengaja. Pemuda ini tahu apa yang kumau, ia menunjukkan box nomer satu untuk masuk. Dia bilang gratis tak usah bayar, kumasuki bilik itu dan kupencet tombol-tombol angka untuk memanggil seseorang disana. Tapi hanya bunyi tuts..tuts menyapa disana, ku ulangi beberapa kali masih tulalit. Ah..betapa bodohnya aku, secarik kertas itu ada nomer terhapus 2 angka belakang terkena air entah darimana.
Akhirnya kuhempaskan badanku ke kursi wartel, termenung tak tahu harus gimana. Apalagi itu satu-satunya harapan untuk bisa menyambung hidup di sini, bingung tujuh keliling memikirkan itu.
"Plaaak!!"
Pundak ini disentuh tangan, aku menoleh ternyata pemuda tersebut.
"Jangan kuatir, kau bisa tinggal disini"
Betapa bergairah diriku mendengar hal tersebut, pemuda yang kemudian ku kenal bernama Mukiyo. Ia juga perantauan dan paham kondisiku, disini Mukiyo bekerja sebagai pekerja wartel 24 jam di kawasan Poppies. Pemilik wartel adalah seorang bule keturunan Ostrali yang menetap di Bali, Max Don nama itu yang kudengar. Mukiyo berkata kau bisa tidur dan mandi di dalam wartel, entar kukenal dengan Max Don.
Kesialanku berganti kulit keberuntungan.
***
Pria itu jangkung mungkin hampir 2 meter, kulit putih berbintik merah, berkepala plontos dan mulutnya selalu menyunggingkan senyum merekah. Siapa pun yang berpapasan dengannya pasti merasa membuncah gairah, Max Don dikenal murah senyum dan suka bergaul. Bahasa Indonesia dan bahasa lokal dikuasai dengan fasih memudahkan berkomunikasi masyarakat sekitarnya. Max Don jatuh cinta dengan Bali semenjak menginjak kakinya disini bahkan sudah berganti agama Hindu leluhur turunan Majapahit ini.