Jangan Katakan Itu Rindu

ferry fansuri
Chapter #17

Chapter #17 Penceng Penunggang Angin

Kemana kaki ini melangkah selalu ada bunga liar di tepi jalan yang mekar, setelah layu seketika mirip bunga putri tidur diarea pemakaman. Tak sadar kesialan itu mengikutiku, mereka mengendap-endap kemudian menyergap dan melahap tanpa sisa. Kesadaran mulai pulih setelah beberapa digoyang bus ekonomi dari terminal Ubung menuju Gilimanuk. Atas kebaikan kondektur memberi tumpangan biarpun itu separuh harga dari karcis reguler, aku pun terjebak di belakang tempat menyimpan barang dengan posisi menekuk karena penumpang didalamnya penuh.

Aku sendiri tak tahu mau kemana, setelah kejadian di Bali itu masih menyisakan kenangan buruk yang melekat di kepala ini. Bus ekonomi yang aku tumpangi berhenti di Probolinggo, ada kendala di mesin hingga mengepul asap hitam kelebihan beban. Kondektur berteriak untuk oper bis dan itu akhir dari perjalananku, aku terdampar di pinggir jalan pantura buatan Daendels ini.

Masih tanpa sore belum menjelang malam, perut ini sudah keroncongan agak mililit tapi aku tahan. Aku rogoh saku celana dan hanya 3 lembar seribuan serta 2 keping 50 rupiah, hanya ini yang kupunya. Jadi harus dihemat untuk makan sampai aku dapat kerja kembali lagi untuk menutupi kekurangan atau sekedar makan untuk bertahan hidup.

Mungkin aku agak lelah dengan langkah gontai menahan lapar yang sangat, cacing-cacing dalam tubuhku mulai berteriak demo agar dipenuhi hak mereka. Mata ini terlihat ada kabut yang mendera dan membayang, energi terasa loyo memberikan efek lisut pada wajah ini.

Sedetik saja aku nampak terhuyung-huyung dan terjatuh tapi tiba aku dikejutkan gerombolan berlari ke arahku. Mereka tampak terburu-buru, seperti tak melihatku dan terus merangsek. Puluhan pemuda tanggung berkaos hijau dengan berbagai atribut bola diselempang pada leher dan badan mereka. Wajah-wajah mereka berpeluh keringat dan kusam gosong terkena sinar matahari laksana kumpulan banteng menerabas semua penghalang termasuk aku. 

Aku seperti dalam kumparan gelombang tsunami, dihempas sana diseruduk dan akhirnya terjatuh lunglai. Saat mau mata ini gelap, aku lirik arah belakang terlihat kerumunan beringas dengan benda tajam dan tumpul ditangannya.Mereka mengacung-acung tegak lurus diatas langit.

"Itu mereka !!"

"Kejar !!"

"Gayang !!"

"Jangan sampai lepas !!"

Teriakan-teriakan bikin roman mengidik ngeri, aku yang telah lunglai bak daun berguguran di musim kemarau tak tersapu dan dibiarkan berserakan. Sekejab itu ada yang meraih tanganku untuk tegak kembali.

"Ayo kawan, berdiri. Lak nggak, awakmu matek nang kene (kalau tidak, kamu mati disini)?."

Suara itu dari pemuda cungkring dengan wajah tirus, perawakan tinggi layak kerangkong. Pemuda ini mengajakku berlari dan berlari tapi aku tak tahu makna dari pelarian yang ia lakukan. Kenapa ia suka berlari? Apakah ia suka bersitegang? Apa ia tak lelah?

Aku juga akhirya berlari disampingnya dan terus mengikutinya untuk menghindari dari kejaran orang-orang berbaju hitam itu.

Akhirnya kami terhenti di ujung gang dalam perkampungan penduduk yang kumuh dan sepi. Aku masih tersengal-sengal tak karuan untuk menahan nafas yang hampir diujung tenggorokan.

"Ha..ha. kawan. Kamu hebat juga, mampu berlari sejauh ini kekeh pemuda cungkring yang masih tampak segar bugar dan tak terlihat kehabisan napas sama sekali."

Penceng, itulah pengakuan dari dia tentang namanya yang aneh dan sedikit miring ke kiri itu. Salah satu keturunan dari anak suku Tengger di pegunungan Bromo yang suka berlarian, selain padang Savana yang jadi medan tempurnya. Ada juga aspal jalanan, Penceng begitu suka akan sepakbola bahkan tergila-gila atas si kulit bundar itu. Sayang ditempat asalnya tidak ada kesebelasan bola yang jadi role model buat dia. 

Penceng tertambat dengan klub Bajul Ijo dan berikrar setia menjadi Bonek(bodho nekat) seutuhnya beserta atribut didalamnya. Kemana kesebelasan kebanggaan Surabaya itu berlaga, pasti Penceng ada disana. Istilah bonek melekat pada dirinya, Penceng rela jalan kaki, nyari omprengan atau tidur di trotoar demi melihat kesebelasannya berlaga. Sesekali Penceng juga turut bentrok antar suporter, kalah menang tak masalah tapi harga diri adalah utama.

"Kenapa kalian berlari dari kejaran orang-orang hitam itu?"

"Serta kenapa juga kau menolongku ?"

Penceng tak menjawab pertanyaanku dan hanya mengeryitkan dahi kepala, kemudian tertawa terbahak-bahak mendengar itu semua.

"Ha..ha, aku pikir kau bonek juga. Karena kulihat kau memakai kaos berwarna hijau. Jadi aku menolong kamu"

Penceng terus saja tertawa seperti menyindir diriku.

"Terus mereka itu siapa ?"

"Oh, mereka yah. Ah biasa seteru bonek"

Lihat selengkapnya