Sesak penuh dan bau keringat , itu yang terlihat disepanjang perjalananku dalam bis ekonomi dari Merak ke Bakahueni menuju Lampung. Berdesakan dengan berbagai ragam manusia yang menjadi perantuan yang pulang setelah mengais rejeki di ibukota. Begitu juga aku, berdesakan dan terhimpit dipojokan kursi paling belakang, mengap-mengap menghirup asap knalpot bocor masuk sela-sela jendela.
Pelarianku sekarang tak sendirian tapi bersama Kantil, selepas dari tangan bos preman Dulmatin itu. Maka disini kami berdua menerawang ke angan tak tahu mana kemana, setidaknya pergi jauh meninggalkan kenangan disana. Kantil tertidur lelap dengan masih memakai dandanan menor yang belum terhapuskan. Selama perjalanan tidaklah nyaman, Kantil tampak tertidur lelap disampingku. Suara bising kondektur beradu penjaja asongan menjajakan dagangannya sama sekali tak mengganggunya.
Belum lagi pengamen jalanan yang memainkan gitar bututnya, bergerombolan layaknya preman. Suara cempreng tak merdu sama sekali, asal memetik senar gitar untuk menutupi suaranya jelek itu. Selesai melakukan ritualnya, sebuah bungkus plastik bekas permen disodorkan ke tiap penumpang demi receh rupiah. Terkadang terkesan memaksa, pembawa bungkus penagih receh itu terus merangsek. Berhenti pada lelaki bertampang tonggos yang dari tadi tidak menggubris sodoran bungkusan itu untuk diisi.
Sepertinya pembawa bungkus berambut punk itu tidak begitu senang jika lelaki tonggos itu tidak memberikan uang receh. Sedikit mamaksa pemuda punk menyuruh lenting rokok di pak sakunya dikeluarkan sebagai pengganti. Bersungut-sungut lelaki tonggos itu memberikannya 2 lenting rokok, kuatir dikeroyok gerombolan pengamen yang lebih dari 4 orang itu. Fenomena nyata memang terjadi disini, aku paham dan selalu membawa uang receh untuk jaga-jaga buat pengamen macam ini.
Perjalananku masih panjang, hidung dan pendengaranku akhirnya terbiasa kebisingan bis ekonomi ini. Rasa lelah dan kantuk itu menyerang, tak sadarkan diri kepalaku tergolek bersandar dibahu Kantil dengan lelehan liur membasahi mulutku.
***
Aroma harum wangi membangunkanku dari tidur lelapku, hidung mengendus-endus layaknya anjing pelacak mencari asal bau ini. Tampak di depanku sehelai rambut panjang, bau ini yang melambai-lambai di hidungku. Kutengok seorang gadis perawan berbadan sintal dibalut kaos merah ketat, sepertinya penumpang lama telah turun digantikan olehnya.
Kunikmati pemandangan gratis didepanku, gadis perawan yang menjelang dewasa begitu menarik mataku untuk menjelajah tiap lekuk tubuhnya. Pinggulnya yang ramping bagai biola, gundukan payudaranya bak gumpalan pualam yang ingin dijamah tiap pria-pria nakal. Khayalanku ini membuat ada sesuatu yang mengembang dibalik celanaku, aduh kondisi seperti pikiran kotor merasuki otakku.
Untuk menenangkan si kecil, aku alihkan pandangan diluar jendela yang lalu lalang kendaraan terjebak macet dipersimpangan lampu lalu lintas. Kulirik sampingku, Kantil tetap saja ngewes sambil mulut menganga lebar mulai dari berangkat sampai sekarang. Kucoba meminum air lebih banyak dari botol aqua yang aku bawa, demi meredakan kegalauan syahwat dari ini.
Dan itu jadi masalah buat aku, setelah aku berkutat melawan gejolakku dan menahannya. Ternyata datang panggilan alam lainnya, air seniku mendadak meluap-luap seperti mau muntah untuk keluarkan. Duh, kondisi seperti ini sesuatu yang tidak mungkin ke toilet karena bus ekonomi melaju kencang untuk mengejar waktu ke ibukota.
Sial bagiku hari ini, air kencing sudah diujung kemaluanku. Ditambah kondisi bus ini tak menyenangkan ini bikin tambah parah.Akhirnya ku hanya bersandar memojok disudut bus ini sambil merintih layaknya pesakitan.