Wajah-wajah kecut, kusam dan buram terlihat keramaian disana. Tidak ada tanda kemenangan hanya geram dan gemeretak gigi menahan amarah menuju ubun-ubun menimbulkan kepul asap kepedihan.
"Bang, ini tak bisa dibiarkan !!"
Suara serak tersendak didalam kerongkongan tenggorok diantara muka-muka murung dalam gerombolan. Puluhan pria-pria tanggung berkumpul menyimpan bara dan menggenggam api tangannya. Dikampung kami memang telah lama terjadi tragedi demi tragedi akibat perselisihan yang tak jelas maksud dan tujuan. Bahasa kasar bernama tawuran jadi alat komunikasi kampung kami dengan kampung sebelah untuk menegaskan hegemoni siapa yang terkuat disini.
Tiap tahun tradisi tak pernah terlewatkan pemuda-pemuda atau preman-preman bau kencur berkedok karang taruna untuk adu otot. Mereka sering bertukar cinderamata berupa batu, kayu, rantai gir besi, botol molotov atau apapun yang bisa mereka ambil dari jalanan. Mata sobek, kapala bocor, memar, mata lebam dan kulit berdarah tergores benda tajam jadi makanan sehari-hari.
Terkadang mereka berjam-jam membuat warga kampung mencekam, mereka tak bisa keluar rumah untuk bekerja atau anak-anak tidak bisa bersekolah akibat kabut ilusi yang kami buat. Pertikaian berasal manakah hingga mereka harus berseteru dalam perang badar ini, ada yang bilang gara-gara seorang wanita bahenol berstatus janda jadi rebutan dua pemuda berbeda kampung. Tapi itu simpang siur, ada juga melempar gosip bahwa ada anak kampung sebelah menusuk pemuda kampung ini. Ada iri dengki mewarnai dua kampung, layaknya bensin disulut menjalar membakar.
Sebuah keberhasilan selalu ada musuh, dua kampung ini selalu bersaing untuk menunjukkan keberhasilan secara instan dan negatif. Mereka pun tak kalah mentereng untuk beradu, pesta goyang dangdut dengan artis ibukota atau hajatan hingar bingar tak ada juntrungnya. Mereka selalu bersaing untuk berkalang tanah mati.
Korban demi korban berjatuhan dari kampung mereka atau sebelah, tawuran pun pecah, saling lempar entah siapa yang mereka hujat. Kami begitu gampang disulut api benci di dada, jika ada pemuda kampung ini dilukai atau dipalak preman kampung sebelah. Mereka langsung naik pitam, solidaritas yang kebablasan timbul tanpa cross cek apakah itu hoax atau tidak. Perihal yang mereka tahu, kampung mereka tak pernah salah.
Senja sore itu mereka bersiap-siap untuk ngeluruk dengan benda-benda tumpul di tangan, wajah-wajah beringas dan menyeringai sungging bak hewan buas mau menerkam. Tersiar berita perawan kampung telah dinodai pemuda puber kampung sebelah.
"Ini sudah keterlaluan !!"
"Mereka tidak bisa diampuni lagi ini"
"Kampung ini telah tercoreng"
"Kita harus balas"