Aku memandang raut muka Sarmin saat menumpang sebuah truk bak terbuka yang mana sang supir berbaik hati mengangkut kami, garis muka yang begitu keras. Kenapa ia mendapatkan lekuk itu, anak sekecil itu bergelut dengan waktu. Otot-otot di tangan begitu menonjol dan terbakar matahari, legam dan kurus. Entah darimana saja ia selama ini dan sekarang ia bersamaku, menjemputku kembali dan ia menempati janjinya yang lampau.
Aku dan Sarmin harus pergi sejauh mungkin dari Ibukota, sebelum anak buah Dul Matin membalas dendam. Kami menyebrangi Bakahueni untuk mencari secuil harapan yang mungkin masih dapat kita korek. Terkadang pernah bertanya kepada Sarmin.
"Kita mau kemana?"
Sarmin hanya mengatup mulut dan memandang kosong, mungkin di tempurung otaknya terdapat mesin bekerja keras untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Sarmin hanya diam dan tak bersuara, cuma hembusan angin yang menerpa kami yang mengeluarkan suara gemuruh menggulung.
Aku sendiri tak sempat membawa apapun dalam pelarian kami, hanya baju di tubuh dan sisa make up yang belepotan menor. Kami bisa tidur dimana saja mulai emperan ruko, pom bensin atau rumah kosong yang tak penghuni. Beralaskan koran, tidur pun nyenyak. Kami tak bisa mengeluh apakah ini layak atau tidak, jika aku dan Sarmin kelaparan maka yang bisa kami lakukan hanya mengamen atau kadang menjadi tukang buruh cuci di warung makan dan upahnya makanan sisa yang tak laku. Itu cukup mengenyangkan cacing-cacing dalam perut kami.
Kami sering berpindah-pindah tempat, selepas masuk Bandar Lampung. Aku dan Sarmin tak pernah lama dalam suatu kota karena kekuatiran akan begundal-begundal ibukota mempunyai telinga dan mata dimana-mana. Saat kami sudah mengumpulkan bekal secukupnya serta uang, kami pun pergi dengan menghirup oksigen sebanyak-sebanyak mungkin agar tak merasa kehilangan rasa dalam tubuh ini.Terkadang kami berjalan kaki seharian, menyetop truk yang lewat atau ada yang sejenak iba pada kami dan memberi tumpangan.
Pagi buta Aku dan Sarmin menginjak tanah yang entah apa namanya, setelah bapak-bapak baik hati dengan truk kelapa sawitnya mempersilahkan untuk masuk. Tempat ini belum dibilang kota mungkin sekelas kecamatan, bangunan yang jarang dan hanya jalan besar utama. Kali ini kami bukannya tidak membawa apa-apa di tangan kami, baju dan tas telah kami persiapkan. Sarmin menyandang tas ransel yang lusuh yang dipungut dari tong sampah yang hanya jebol di bagian sisi luar. Sedikit dicuci dan ditambal, akhirnya dapat dipakai.
Kami juga menyisihkan hasil kami kerja serabutan untuk bekal perjalanan serta membeli pelbagai keperluan sehari-hari. Saat itu pernah Sarmin berkata kepadaku.
"Kan, apakah kau merasa tak nyaman dalam perjalanan ini?"
"Kala itu aku itu hanya tersenyum dan menggenggam tangannya."
"Ini petualangan kita yang dulu kita cita-citakan, aku akan ikut kemana kau pergi"
Maka disini kami memulai perjalanan kami kembali, kulirik tapal batas bertuliskan Jabung. Aku dan Sarmin belum sempat makan sewaktu menumpang truk kepala sawit tersebut, naluri alami dari perut kami pun menabuh genderang ingin perang jika tak ada asupan makanan yang masuk.
Tubuh yang kian melemas, sedikit terhuyung menahan pening. Beberapa kali hampir terjatuh, untung Sarmin selalu memegangi. Aku berjalan di belakang mengikuti Sarmin sambil menembus kabut depan, aku tak tahu sekarang jam berapa karena cahaya matahari belum menembus gelapnya awan. Jalan itu tampak lenggang dan sepi, hanya kabut putih menyelubungi pandangan kami. Langkahku tampak gontai, kelaparan itu mendera tubuh ini yang sangat. Tapi mengapa aku melihat sesuatu ganjil di tengah jalan, ada seseorang menebus kabut muncul begitu saja.
Tapi nggak aneh karena dikenali sebagai sosok pria tinggi memakai baju setelan putih dengan celana bahan kain berwarna putih juga. Diatas kepala bertengger kopiah hitam dan tangan kanannya memegang tongkat komando. Dasi hitam dan tanda kepangkatan militer melekat disana menambah kewibawaan serta kharisma. Ia tersenyum kepadaku dan melambaikan tangannya, tapi entah kenapa aku begitu ingat dia dan lupa itu dimana serta kapan. Perihal yang kutahu, kepalaku menyentuh tanah dan tersungkur. Terakhir kuingat wajah itu sering aku lihat di lembaran-lembaran buku sejarah yang pernah kubaca. Wajah proklamator, singa podium dan founding father-Sukarno.
***