Hampir 2 jam lebih kami terombang-ambing dalam bus antar provinsi, membelah hutan dengan jalanan naik turun entah kapan sampai tujuan. Perjalanan begitu melelahkan, tak ada jeda sama sekali untuk berhenti. Aku dan Sarmin mendapat tempat paling pojok belakang dekat jendela. Didalam bus itu terlalu padat hingga di lorong dipenuhi orang duduk di bangku extra, bus ekonomi tanpa AC hanya angin sepoi-sepoi yang menerobos dari sela jendela. Panas dan penat menghajar kami tapi kulihat Sarmin bisa-bisanya tidur terlelap dengan iler diujung bibir. Aku sendiri tidak bisa tidur sama sekali, merasa tak nyaman kondisi berdesak-desakan ini. Ini resiko bus yang kami tumpangi satu-satunya dan mungkin jarang ada.
Guncangan-guncangan terus mendera, oleng sana oleng sini bahkan saat supir berusaha menghindari lubang didepan. Tapi kondisi jalanan begitu ambaradul, selihai-lihai supir pasti terperosok juga. Ada sebuah lubang cukup dalam, supir tak bisa menghindar sekarang. Bus melibasnya, sebuah lonjakan hebat terjadi hingga seluruh penumpang terbang tak terkecuali aku. Kepalaku sampai terantuk di dinding langit bus dan herannya Sarmin tak bergeming sedikitpun. Terlelap lesap tanpa terjadi apapun.
"Huaahh"
"Ini dimana?, Kan"
Sialan si Sarmin ini, sudah enak-enak tidur dan sekarang bangun seperti tidak terjadi apapun. Aku sewot dan tak menjawab pertanyaan Sarmin sama sekali.
"Aku lapar, Kan"
"Adakah makanan yang bisa kumakan?"
Aduh orang ini kadang menyebalkan memang, sudah tahu kondisi begini malah nanya perutnya yang mengaduh sendirian itu. Tapi untunglah ada sedikit bekal yang diberikan Gempar tadi, acuh tak acuh aku serahkan sebuah bungkusan dari pelepah pisang. Sarmin melihat begitu riang gembira menerima bungkusan makanan tersebut dan membukanya. Serbuan cita rasa menggoda terhirup pertama kali melongok saat karet gelang terlepas, nasi punel diatas ditabur sambel tempoyak bersama suwiran daging ayam. Dasar Sarmin, tanpa basa basi langsung melahap tanpa dikunyah. Itulah sifat sadar manusia, masalah perut yang kritis membuat kita menjadi layaknya binatang tanpa rasa.
"Huaaah.. ini enak banget, Kan. Apakah ada lagi?"
Suara sendawa dan cengegesan Sarmin terdengar bersamaan, tapi itulah yang aku suka dari dia. Jujur dan apa adanya dia, ceplas-ceplos. Aku hanya mengeleng-gelengkan kepala bahwa tidak ada lagi tapi seperti Sarmin juga tak peduli karena terlihat ia terus menjilat jari jemari miliknya yang masih ada sisa sambel.
Tak lama kemudian Sarmin tertidur kembali, dasar bagajul. Kembali senyap dan yang terdengar suara knalpot bus yang bocor berisik. Aku dikit demi sedikit melalui kelelahan, kelopak mata itu mengatup dan sesap dalam mimpi.
***
"Kan..Kantil..bangun Kan"
Sebuah goncangan-goncangan kecil pada pundak, aku pun sedikit melek melirik Sarmin telah bangun. Kulihat ia meringkuk memegang perut, seperti menderita dan mengaduh.
"Aduh Kan, kenapa perutku ini dan merasa mau muntah ini"
Aku melihat Sarmin mengalami kram perut dan mabuk darat, kemungkinan reaksi sambel tempoyak kombinasi guncangan dalam kotak besi seperti dikocok jadi satu. Mulek sampai keinginan mual memuntahkan yang telah dimakan.