Prahara itu mengulung-gulung dan memberanguskan kampung itu tiada ampun, tak terbekas sedikitpun. Hal yang tersisa hanyalah duka dan nestapa menerpa, sekejap gumpalan air bah itu begitu tinggi melahap seisi kampung. Tak terkecuali keluarga Ninik dan Mamak tersapu habis, meninggalkan mereka saja. Mereka tak mengira bahwa pagi itu sarapan terakhir bagi mereka, Ninik dan Mamak mempunyai 3 orang anak, 2 laki-laki dan si bungsu perempuan.
Ninik dan Mamak baru saja merayakan kelahiran cucu pertama dai anak pertama dan menantu. Seonggok bayi perempuan yang mungil dan montok, baru berusia 1 bulan. Kegembiraan keluarga ini semakin lengkap, hidup dalam satu rumah sederhana di pinggiran pantai kota Petai di kaki Kerinci
Pagi itu Mamak baru saja memasak dendeng Batokok dan gulai ikan semah, sekeluarga memakannya dengan lahap. Tak afdol jika tidak makan dengan nasi payu, Ninik dan Mamak senang melihat semua keturunan tak kekurangan satupun biarpun mereka menempati satu atap yang sederhana yang terbuat dari bambu dan sabut kelapa. Ninik hanyalah seorang nelayan, kedua anak laki-lakinya membantu. Mamak kadang berjualan di pasar mulai pelepah pisang, kelapa atau sisa ikan yang tak terjual ke tengkulak.
Hidup selalu mereka syukuri tapi buku nasib berkata lain, setelah makan pagi itu yang akan menjadi hal terindah untuk diingat. Guncangan maha dahsyat memporak porandakan kampung itu, tanpa ada peringatan atau pun tanda. Sebuah tsunami melahap mereka, hampir separuh populasi tersapu bersih. Laki, perempuan, tua dan muda bergeletakkan di tanah tanpa napsu sedikitpun. Mereka tak sadar, saat berkedip sudah bergelimpangan berkalang tanah. Tak tahu apa yang menghantamnya dan semua tercecer disana.
Rumah hancur beramburan dihantam badai tak berunjung, luka menganga bak kuburan bertuah terbengkalai. Ninik terhempas diatas pohon entah kenapa ia sampai berada disana, nyawanya diselamatkan ranting dahan yang tak sengaja nyangkut saat terseret ombak besar. Mamak lebih beruntung sempat diselamatkan warga naik didataran lebih tinggi saat bencana itu tiba.
Setelah itu mereka menangis dan meratapi satu persatu keluarga rebah tak bergerak sama sekali. Dua anak laki-nya tengkurap dijajaran mayat-mayat itu, anak perempuan dan cucunya tak ditemukan sama sekali. Mereka terbelalak mendapati rumah dan kampungnya tersapu rata dan tak terlihat.
Tak ada yang tersisa sama sekali atas harta bendanya, rumah yang dibangun seumur hidup Ninik dan Mamak tinggal puing berserakan. Mereka mengais sisa-sisa kehidupan mereka, mungkin bisa dijadikan sandaran hidup berikutnya. Bencana itu telah meluluhlantahkan semua yang ada di kampung ini, penduduk yang tersisa harus terpaksa mengungsi.
"Tidak ada yang bisa kita lakukan disini"
Suara-suara sumbang terus berjibaku dalam kepala mereka yang terselamatkan, hanya segelintir dari kampung ini yang selamat. Mereka kebingungan akan rumah dan harta benda mereka lenyap dalam sekejap. Satu persatu mereka meninggalkan kampung ini yang rata dengan tanah. Tak ada mereka lakukan disini, sepi sunyi disesah resah.
Tersisa hanya mereka berdua dan terus memandangi rumah mereka yang dekat pesisir.
"Kita harus pergi juga sekarang"
Mamak menepuk Ninik untuk pertanda segera pergi meninggalkan kenangan yang menelusup disana.