Perkelahian itu tak bisa dihindari, malam itu Ratih dan Sulasih saling cakar mencakar, berguling-guling dan meraung-meraung bagaikan seorang anjing yang berebut sekerat daging. Cabik-mencabik hingga tak sehelai kainpun menempel dari tubuh mereka, peristiwa itu jadi tontonan seluruh pengunjung Pulau Baai.
Konon malam itu mereka berebut pelanggan terbaik dan primadona disemua perempuan penjaja cinta di Pulau Baai. Badan tinggi atletis, kulit putih selaksa susu, wajah simetris, alis lebat tajam, mata biru berbinar menandakan ras bule, rambut ikal, bibir yang tipis siap melumat semua mulut perempuan-perempuan disana. Datangnya Penta mengobrak-abrik kedamaian dan ketenangan di Pulau Baai.
Semua mata tertuju kepadanya, Penta bagaikan daya magnet siap menyedot siapapun. Mereka berbondong-bondong datang dan merayu menawarkan pelayanan nan memuaskan baginya bahkan sampai berebut satu sama lainnya dengan liar.
Penta hanya menyinggungkan senyum simpul tanda kemenangan serta keperkasaan akan hegemoni pria terhadap wanita. Ada Mungki yang bodinya bohenol yang selalu menyembulkan payudaranya, ada juga Mikela memakai bedak setebal satu inchi yang rela diapain saja atau Rihana yang selalu mengangkang roknya. Mereka berebut menarik perhatian Penta demi merasakan harum badan dan desah napasnya.
"Dia itu milikku !"
"Sekarang giliranku, bukan kau"
"Enak saja, ia memilih aku seorang"
"Pelayananku lebih sip daripada kau"
"Goyanganku bombastis"
Teriakan-teriakan perempuan itu bercampur racuan yang ingin digilir oleh Penta, pria perkasa itu. Dan itulah yang terjadi dikawasan pinggiran kota Bengkulu tersebut.
***
Warung kopi pojok itu didera gerimis rintik-rintik tak membuat orang-orang didalam kedinginan bahkan riuh. Secangkir kopi hitam dan potongan gorengan jadi penawar malam kian dingin, ditambah obrolan ngalor ngidul.