Manusia sejatinya makhluk sepi yang menyekap dingin dan kian mengendap, itulah takdir mereka. Aku dan Sarmin telah berjalan beribu-ribu mil dari tempat kami berasal, berlari terus berlari dan tak mau kembali. Berpindah-pindah tempat dan mencari pekerjaan halal itu yang berusaha untuk tetap hidup.
Kulihat raut muka Sarmin, garis-garis keras merajah wajah yang tak sesuai umurnya. Aku sendiri tak ingat sudah berapa lama kami melangkah, sepertinya begitu lama. Aku merasakan tonjolan-tonjolan buah dada yang mulai mekar ranum dan aku mendapatkan haid pertamaku. Selama ini aku selalu mengikuti Sarmin dan tak pernah mengeluh sama sekali. Terkadang aku bertanya kepadanya.
"Kapan kita bisa pulang?"
Sarmin hanya terdiam dan memandang hamparan bukit saat berhenti disebuah daerah yang tak tak tahu dimanakah itu, tapi hawa sejuk menghampiri kami dan sejenak menghilangkan semua penat kehidupan yang kami sandang.
"Entahlah, tapi kita akan pulang itu pasti"
Jawaban yang mungkin abigu tapi aku paham, kami memang tak tahu harus kemana. Tak tahu apa yang dituju atau sanak keluarga, seperti halnya sekarang berada di tempat yang asing bagiku.
Kota ini tak begitu besar tapi tampak asri, salah satu jalan provinsi yang kerap dilalui bus atau truk pengangkut sembako. Uniknya kota ini tak terlihat pengamen atau pemulung berkeliaran, aku dan Sarmin sempat kebingungan untuk mengais sedikit rupiah karena itulah keahlian kami untuk bertahan hidup.
Kami tak mau mengemis karena itu pekerjaan hina atau mencuri yang bukan hak kami. Itu terjadi saat aku dan Sarmin di depan pusat perbelanjaan teramai di kota ini, kami baru saja menjadi tukang buruh angkut dadakan bagi pelanggan toserba. Digaji seribu rupiah perhari, itu cukup untuk menganjal perut kami dan malamnya tidur di emperan toko yang tutup atau kalau beruntung ada lapak kosong.
Aku selalu memandang toserba itu, begitu banyak lalu lalang manusia dengan berbagai pakaian dan perhiasan ia sandang. Didominasi kaum hawa suka akan gemerlap dunia, terkadang kau tak habis pikir mengapa mereka tiap hari harus datang dan membeli ini itu dan kembali keesokan harinya. Itu terjadi terus menerus, terasa tak cukup bagi mereka.
Itu juga yang aku lihat dari seorang wanita setengah baya yang selalu datang dengan mobil Mercedes Benz. Ia turun dengan pakaian glamour mulai terusan rok dan blouse ditambah cincin serta gelang menjejali seluruh jari dan tangan. Rambutnya tertata modis ala ibu-ibu pejabat, tak ketinggalan kacamata hitam nangkring di hidungnya.
Hampir tiap hari selalu datang, masuk tangan kosong dan keluar dengan belanja ditenteng. Aku mengira wanita itu dari kalangan berada di kota ini, mungkin salah satu orang kaya juga.
Siang itu tak begitu terik merambat separuh sore, aku dan Sarmin seperti biasa berada di depan toserba menyambut rejeki jika itu ada. Wanita datang lagi dan melenggang tenang masuk toserba, supir menunggu setia. Tak beberapa lama wanita itu sudah keluar, tangan kiri dan kanan penuh dengan bawaan belanja. Terlihat kuwalahan dan sempoyongan, untung supirnya sigap membantu. Tak sadar ada sesuatu yang jatuh dari sakunya, sebenarnya aku tak begitu awas tapi mata elang Sarmin menyibak itu. Sarmin pun berlari kencang dan menyambar benda itu, ia berteriak-teriak memanggil wanita itu apa mau dikata telah pergi dan hanya meninggalkan debu.
"Ini sebuah dompet, Min"
Lalu Sarmin membuka dompet itu dan didalam ada beberapa lembar terselip, aku tercengang melihat lembaran rupiah yang berderet-deret begitu banyak. Bagiku itu pemandangan menakjubkan, aku belum pernah melihat uang segitu banyaknya.
"Kita harus mengembalikan, Kan"