Napas ini tak kuasa kutahan sama sekali, terasa di kerongkongan sisa-sisa oksigen yang kuhirup. Wajah hampir membiru, kutengok Sarmin berpeluh keringat yang menarik tanganku untuk berlari. Mereka yang dibelakang, terus mengejar kami dengan benda tajam di tangan mereka dan berteriak-teriak beringas.
Aku dan Sarmin tak sengaja bertemu gerombolan itu dalam terminal itu kala kami sedang mengamen di bus kota. Kulihat pencopet mengerayangi tas ibu gembrot itu, aku pun menjawil pundak Sarmin dan berbisik kepadanya.
"Ada pencopet, Min"
Sarmin hanya geleng-geleng kepala dan meletakkan jari telunjuk di bibirnya untuk tidak ikut campur. Akhirnya aku terdiam dan melihat kejadian didepan mataku, pencopet itu tidak bekerja sendiri tapi komplotan. Kuperhatikan saat yang tonggos itu meraih dompet dari wanita gembrot, tangan beralih ke pria bertopi yang duduk dibelakang kemudian ia beranjak ke depan. Ia berpapasan dengan wanita kerempeng yang akan turun, dompet itu pun berpindah tangan tanpa diketahui siapapun kecuali aku.
Tatapan mataku itu tak pernah lepas sedikitpun itu ternyata mengundang curiga, salah satu dari komplotan itu terus melirik tanpa kusadari dari tadi. Aku merasa ketahuan, aku berusaha menarik lengan Sarmin untuk pergi dari bus itu, pas berhenti di perempatan Jami Ginting.
Kupikir akan aman setelah kami pergi tetapi mereka membuntuti, aku dan Sarmin berusaha menghindar. Kami berlari dan terus bergerak ke depan tanpa menoleh ke belakang, mereka terus mengejar. Tidak hanya satu tapi mulai bermunculan satu persatu dari gang-gang sempit itu, mereka terorganisir bawah tanah tanpa komandan merangsek mengikuti arah suara seperti kode untuk berkumpul.
Aku hampir tak kuat menahan napas, kaki kami terus mengeluh tak mau diajak kompromi sama sekali. Kelelahan itu memojokkan kami di sebuah gang buntu, aku dan Sarmin hanya menunggu nasib setelah ini.
Didepan gerombolan itu mulai beringas dan tak sabar untuk menghantam kami.
"Kalian mau kemana ? Tetaplah disitu layak tikus got terjebak dicomberan"
Suara itu dari pria yang pipa ada bekas luka terbakar yang menyembul dari gerombolan, terlihat pimpinan mereka.
"Kami tak bisa membiarkan kalian pergi begitu saja setelah melihat itu semua"
"Tak boleh ada saksi di dunia kami dan kalian perlu diputus"
Mereka mengeluarkan berbagai senjata tajam dan berniat menghabisis kami seketika.
"Tunggu, aku ingin bermain-bermain dengan mereka sebentar"
Pria bercodet itu mengambil sebuah batu dan menyambit ke arah kami, sekali ayun batu itu tipis diatas dikepalaku dan hampir saja.
"Ha..ha..Aku kurang beruntung"
"Begini saja mari kubuat sebuah permainan untuk mereka"
"Aku mau dari kalian, siapa yang bisa mengenai mereka aku beri hadiah"
Pria bercodet itu memerintahkan anak buahnya mengumpulkan sebanyak mungkin batu disekitar mereka
"Aku beri 100 rupiah untuk kaki, badan 200 dan kepala 500 rupiah"
Sebuah tawaran yang mengiurkan yang tak mungkin dilewati, jadi mereka berduyun-duyun antri untuk melempar batu ke arah kami. Antrian itu terus mengular, pelempar pertama melakukan aksi dan mengarah ke Sarmin. Tapi untung dengan gesit Sarmin menghindari dan membuat penasaran mereka semua. Bahkan sampai pelempar terakhir tak satupun batu mengenai kami.
"Bodoh kalian itu, mereka hanya anak kecil dan semua tak mengenai sasaran !"
"Buang-buang waktu saja, kalian bersamaan melempar batu ke mereka"
Instruksi sang bigbos wajib di lakukan jika tidak maka hukuman menanti, kali ini kami yang kalah. Lemparan batu itu membabi buta ke segala penjuru, tak pelak seluruh bagian tubuh ini menerimanya. Aku hanya menunduk melindungi kepalaku untuk menjaga kesadaran, Sarmin begitu perkasanya memberikan punggungnya untuk jadi perisai hidup. Ia menahan nyeri yang sangat, saat puluhan batu itu mengenai dirinya. Setelah hujan batu itu menghujam kami yang telah hampir lemas kehilangan tenaga, tiba-tiba ada aba-aba untuk berhenti.
"Stop, cukup !!"
Sang bos merasa puas apa yang dilakukan anak buahnya dan bibir menyerigai tanda kemenangan.
"Ini balasan jika kalian mengusik kami, rasakan balasannya"