Jangan Katakan Itu Rindu

ferry fansuri
Chapter #29

Chapter #29 Kepompong Ulat Bulu Didalam Sarung Kyai Karnawi

Temui kyai Karnawi, jika kau telah sampai daerah ini. Itu pesan Dalbo kepada aku dan Sarmin jika sampai di Langkat. Untuk sekedar numpang tidur dan makan, tempat kyai Karnawi terbuka lebar bagi penggembara seperti kami.

Datang pada sore menjelang malam di Stabat, kami turun dari bus ekonomi pas diguyur gemericik tempias hujan. Aku dan Sarmin berlari kecil-kecil mencari tempat berteduh, didepan terdapat warung makan. Kami tak tahu tepatan dimana, Dalbo hanya mengatakan sebut saja kyai Karnawi semua pasti tahu. Aku masih menahan dingin akibat baju basah dan lapar mendera, kulirik warung makan itu menggugah selera tapi uang di kantong tak cukup. 

Saat diri ini berdiskusi dengan perut yang berkeroncong, dari balik pintu warung itu nongol pria muda perawakan ceking sambil sililitan sisa makanan.

"Kalian mau kemana?"

Aku dan Sarmin saling menenggok dan menjawab berbarengan.

"Kyai Karnawi"

"Oh pak kyai, kebetulan aku searah kesana"

Pria muda itu bergegas ke kereta becak motornya, aku dan Sarmin masih terdiam dan celingak-celinguk untuk memastikan karena kami tidak ada ongkos sama sekali.

"Ha..Ha jangan pikirkan itu. Ini gratis"

Maka naiklah kami ditas becak motor kumalnya dan dalam perjalanan Biun yang akhirnya kutahu namanya. Ia memang berprofesi sebagai ojek motor yang sering mangkal di warung makan itu. Biun sering mengantar pengunjung atau siapapun yang ingin berkunjung ke tempat kyai Karnawi. Biun tak pernah memunggut bayaran karena tahu tak semua yang datang ke tempat kyai Karnawi bukan orang berduit bahkan sering orang luntang-lantung yang sering mencari tumpangan.

Rumah kyai Karnawi memang menjadi jujugan orang-orang yang hilang atau bromocorah yang menemukan jalannya. Melewati jalan makadam yang sering becek terkena hujan, kami telah sampai di rumah kyai Karnawi

Rumah itu tak begitu besar tapi halamannya begitu besar, aktivitas didalamnya cenderung sepi-sepi saja. Saat aku dan Sarmin tiba, kami disambut oleh seoang perempuan setengah baya nan cantik dan mempersilahkan untuk masuk. Kami disuguhkan berbagai makanan yang menggiurkan tak sabar untuk kami telan dalam perut. Sang tuang rumah paham dan mempersilahkan untuk memakannya, aku dan Sarmin tak sungkan-sungkan lagi. Perut gembul dan kenyang membuat kami lemas.

Setelah kami makan, di ujung ruangan keluar seorang pria tinggi gagah, kulit putih dan hidung mancung ciri khas ras Arab. Disamping ada perempuan muda manis nan molek mendampinginya.

"Silakan, jangan malu-malu. Disini semua yang datang adalah saudara"

Senyumnya begitu memukau, ada pancaran aura yang tak kasat mata siapapun memandangnya akan memberikan kesan teduh. Itulah kyai Karnawi, aku merasa aman dan nyaman berada di tempat ini. Kami diterima dengan baik dan disediakan bilik untuk beristirahat. Disini selalu diadakan sholat berjamaah dan pengajian, berbagai kalangan selalu datang membludak tapi anehnya dari jamaah itu tak satupun disebut alim. Wajah-wajah sangar dan bertato sekujur tubuhnya atau wanita jadi-jadian yang begitu menor, rumah kyai Karnawi membuka diri unuk semua yang mereka anggap sampah masyarakat. Mulai preman, anak punk, pelacur, banci, gelandangan sampai yang paling hina sekalipun atau orang-orang yang merasa hidupnya tak terampuni.

"Tak ada dosa yang tak terampuni jika ingin tobat dan niat memperbaiki. Tak ada kata terlambat"

"Mereka tak perlu dihakimi atas perbuatannya dan siapa lagi yang mau menerima mereka"

Lihat selengkapnya