Ada kisah yang ingin kusampaikan kepadamu, tidak kutitipkan pada pohon atau kubisikan pada dedauan. Disini kita duduk memandang larik langit yang bertebaran bintang saling kejar-kejaran dan petak umpet, bersembunyi dalam awan. Rembulan begitu perkasa menampakan wujudnya berpendar, kunang-kunang pun kalah telak. Tahukah engkau rerumputan bertaburan pohon rindang itu, ini adalah rumah untuk pulang. Tempat dimana kau akan kembali dari jiwa-jiwa yang hilang dan mengembara.
Aku dan Sarmin selalu berlari sepanjang hidup kami, bukan menghindar tapi mencari rumah yang tak kami miliki sama sekali. Langit jadi atap kami, jalanan itulah alas bermain kami. Banyak peristiwa dan kejadian berkelebatan di pupil mata ini, tidak bisa dihapus hanya dengan guyuran hujan semusim. Kami yatim piatu yang berusaha bertahan hidup di hutan belantara beton menjulang. Kilas balik dimana aku dijual oleh orang yang menampung diriku sejak kecil, dijadikan pelacur tapi Sarmin datang demi janjinya.
Menarik diriku untuk pergi jauh dari tempat laknat itu, disitulah kisah kami dimulai. Kami harus meninggalkan ibukota karena jika tidak antek-antek germo akan terus mencariku apalagi Sarmin telah menghabisi pentolan mereka. Berbekal apa yang melekat dibadan, kami menyebrangi Bakahueni menuju pulau Andalas.
Umurku sekarang mungkin menjelang 16 atau 17 tahun, aku sendiri lupa kapan dilahirkan atau siapa orang tuaku. Layaknya anak haram jadah lainnya yang masih dikasih hidup yang kuasa untuk mencari kisahnya sendiri. Aku dan Sarmin sering berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya, dari Way Kambas menuju kota pempek-pempek melakukan keahlian kami sebagai anak jalanan.
Kami ngamen dan mengumpulkan botol plastik bekas atau koran yang bisa dijual untuk sejumput rupiah. Kami tidak mencuri atau mengambil bukan hak kami, Sarmin melarang keras untuk perihal tersebut. Menurut Sarmin, hal yang baik harus kita tinggalkan di dunia bukan yang buruk dan semua itu ada balasan setimpal. Suatu saat kami terdampar di emperan ruko kota Langsa , kelaparan melanda perut kami setelah berjalan kaki tanpa ada tumpangan gratis yang bisa kami tumpangi. Sore itu menjelang mahgrib, jalanan sedikit lenggang karena para penghuni sudah lelap dari rutinitas kemudian menelusup sela-sela selimut mereka.
Tepat didepan mata kami tersaji kejadian nanar, wanita setengah baya beserta anak balita melintas perlahan mengayuh Yamaha robot-nya. Tiada angin tiada hujan, mereka jatuh tersungkur bersimbah darah menggerus aspal terpental dari bebek jadulnya. Usut diusut mereka babak belur akibat senggolan dua makhluk hitam legam membejek RX King jambret, tas milik wanita itu raib dalam jaket dan pergi mengeluarkan suara lengkingan memekakkan telinga.
Wanita tak sadarkan diri dan anak balita menangis sekencang-kencangnya memanggil ibu yang tak mau bangun. Mata-mata itu hanya mengintip disela-sela jendela tak berani keluar atau menolong, ketakutan mendalam di benak mereka sebab area itu rawan begal dan jagal yang masih marak.
Aku dan Sarmin bergerak tanpa diperintah, kaki dan tangan kami mendekat. Sarmin berusaha mengangkat tubuh wanita malang tersebut, sedangkan aku menenangkan balita perempuan. Wanita itu tak sadarkan diri gara-gara cucuran darah merembes tiap helai rambut, benturan dengan aspal makadam. Aku mencoba menghibur anaknya bahwa ibunya sedang tidur semata.
"Ibumu hanya mengantuk dan tertidur sebentar, jangan menangis kembali"
Anak itu pun berhenti mengeluarkan airmata setelah kuberi permen lolipop sisa pemberian penumpang bis yang kami ngameni kemarin. Kami bingung harus bagaimana mencari pertolongan, begitu lesap dan kosong kota itu. Wanita itu harus segera dibawa ke rumah sakit untuk ditangani lebih lanjut tapi kearah mana? memakai apa? kepala kami blank tak terisi info-info seperti itu.
Tapi Sarmin tidak mau berdiam diri saja, ia sigap berlari ke dalam lorong didepan. Kemudian keluar menarik sebuah gerobak kayu reyot bekas pengangkut pasir material toko bangunan seberang sana. Memang sesuatu tidak layak tapi apa boleh buat hanya hal tersebut yang ada. Kami pun mengangkut wanita itu didalam gerobak dan Sarmin menarik dari belakang. Sebelumnya motor bebek yang hancur lebur itu kami tepikan dijalan yang tak mungkin dicolong atau diloak tangan-tangan jahil. Aku menggendong anak perempuan yang masih menjilati lolipop tanpa tahu apa yang terjadi.
Sarmin sudah berpeluh keringat menarik gerobak itu dan aku mengikuti dari belakang. Berjam-jam kami menembus kegelapan dan memicingkan mata untuk awas, mungkin ada klinik atau puskesmas. Kota kecil seperti ini mungkin jauh dari rumah sakit dan kami tak berharap bertemu itu. Kami terus berpacu waktu, darah itu terus berceceran mengikuti gerak kami. Kuatir wanita ini akan kehabisan dan mati tapi Sarmin tak putus asa, kulihat ada harapan dimata dia sama seperti ia datang kembali kepadaku untuk menepati janjinya.
Kami sejenak berhenti untuk mengatur napas, sekali-sekali istirahat. Anak dalam gendonganku sudah tidur terlelap dengan iler membekas di pundakku. Anak sudah terbang dengan mimpi-mimpi untuk bermain dan mungkin tidak mau tumbuh dewasa esok hari. Di sisa-sisa napas kami dalam penghujung tenggorokan, ada sepercik cahaya berpendar disana. Kami pun bergegas, didapati sebuah rumah diterangi lampu jalan yang mungkin mati redup.
Pintu itu kami gedor-gedor untuk meminta bantuan, beberapa kali gedoran akhirnya terbuka. Seorang perempuan 40 an membuka pintu tersebut dan terkejut bahwa saat Sarmin menjelaskan bahwa ada manusia dalam gerobak itu adlah korban kecelakaan. Beruntung bagi kami ditolong perempuan itu, ia begitu cekatan membersihkan luka, membalut perban dan meneteskan obat merah. Diujung telpon ia memutar nomer untuk memanggil ambulans, ternyata perempuan itu seorang bidan yang biasa bertugas di kawasan ini.
Mau nggak mau kami juga ikut masuk dalam ambulans, karena aku dan Sarmin adalah saksi penjegalan pada wanita dan anaknya. Lagipula siapa yang menjaga anaknya selagi ibunya masuk ruang operasi untuk menjahit lukanya. Tak lama kemudian suaminya dari wanita malang tergopoh-gopoh masuk ruang ICU untuk menanyakan keadaan istrinya. Aku baru mengetahui bahwa wanita itu dan suaminya adalah sosok yang terhormat dan terpandang di Tulang Bawang. Suraji sebuah nama saat kami berkenalan, sebagai imbalan atas pertolongan ke keluarga. Suraji mengajak kami tinggal dan makan di rumahnya.