1
Bandung, 1999
Hujan jatuh membasahi tanah dan bumi tanpa berkabar. Aku yang waktu itu duduk di balik jendela, menatap rintikan hujan yang membasahi kaca. Ada bau tanah basah yang segar mengingatkanku tentang masa kecil, tentang halaman rumah, tentang teman-temanku yang berlarian menghampiri rumah tanpa kenal panas dan hujan.
“Hujan itu baik.” Tulisku pada buku harian.
Entah kenapa, aku selalu percaya ada sesuatu yang ingin aku katakan setiap kali hujan turun. Mungkin tentang rindu, mungkin doa atau mungkin hanya sekedar pengingat bahwa hidup tidak selalu datang dengan deras. apa yang selalu aku rasakan tiap kali hujan datang, rasanya hidup itu penuh makna bukan hanya tentang siapa diriku tetapi, sejauh mana kita baik kepada orang.
Hari itu aku pergi ke Palasari untuk beli buku bekas. Tempat itu masih ramai dan sejuk, tidak seperti sekarang yang sepi. Aku bertemu dengan seorang laki-laki yang datang tanpa aba-aba, seakan dititipkan oleh semesta untuk singgah di jalanku. Ia berdiri sambil memilih buku dengan membawa tas selempang seperti anak kuliahan zaman itu. Aku melihatnya dari kejauhan dan entah mengapa wajahnya langsung terekam dikepalaku. Seperti lagu lama yang di putar ulang meski aku hafal liriknya.
Namanya aku tahu belakangan: Niskala.
Aku menulis Namanya di buku, siapa tahu bertemu kembali suatu saat nanti. Aku suka menyebutnya “diri kedua” di tempat aku bisa jujur tanpa takut dihakimi.
Hari ini aku bertemu Niskala. Seorang laki-laki yang tinggal di sekitaran tamansari, sedang mencari buku di Palasari. Aku tidak tahu apakah aku mengenalnya secara pasti atau hanya mirip seseorang yang pernah kutemukan di mimpi yang sudah lama hilang. Tapi, ada sesuatu di tubuhnya yang tinggi, sesuatu yang membuatku ingin menemuinya sekali lagi.
Aku mematikan lampu meja belajar, menyimpan halaman yang sudah kutulis sampai tengah malam. Di luar, Bandung masih sepi di selimuti hujan tipis seperti enggan berhenti. Ada sunyi yang mengajakku berbicara, aku tersenyum kecil, merasa hidupku baru saja berubah, meski aku belum tahu ke arah mana.
Bandung di akhir 90-an adalah kota dengan sejuta aroma kenangan dari jalanan yang sunyi. Aroma kopi dari warung-warung kecil, bau buku dari Palasari dan musik dari konser di Majestic Braga. aku sering berjalan di sepanjang jalanan Braga, membicarakan tentang Bandung, Gedung tua yang masih kokoh lalu, bertemu Niskala. Membicarakan hal remeh yang terasa penting saat itu. Kami mulai saling menyapa. awalnya hanya sekedar basa-basi membicarakan buku yang sering dicari, tentang bagaimana ia melanjutkan sekolah, mimpi dan kopi. Tapi, ada ruang yang tumbuh di antara percakapan-percakapan kecil itu. Ruang yang hangat, yang membuatku tak ingin cepat pulang.
Ia bilang padaku.