Jangan kemana-mana,ya!

Meidiana Shavira
Chapter #3

Surat Niskala

1

Sesekali aku berjalan menyusuri jalanan kota yang sepi hanya di lewati oleh becak dan angkutan umum. waktu itu aku pergi ke kampus Niskala untuk keperluan sponsor yang akan aku masukan ke dalam pensi sekolah nanti. Tetapi, tidak ada batang hidung Niskala sekalipun saat aku kesana. Andai saja saat itu telepon dan internet secanggih sekarang, sudah ku pastikan akan aku spam beliau sampai bertemu, itu pun kalau ia mau. Aku tidak selalu memaksanya pada siapa dia ingin bertemu, kalau pun ia bukan untuk aku, aku tidak masalah tapi, hati aku pasti patah.

Aku bertemu Niskala di sisi jalan Dago dekat rumah sakit. duduk di bangku besi kecil. Di sekeliling kami, anak-anak berlarian sambil tertawa seolah mereka punya cerita baru yang lucu. Niskala menatap awan, lalu berkata pelan “ kalau nanti kamu di Jakarta, jangan lupa sama aku, ya.”

Aku menoleh, menatapnya lama. Ingin sekali aku menjawab “aku tidak akan kemana-mana bahkan lupa pun tidak mungkin.” Tapi, aku menunduk hanya berkata “udah tua nanti kita kalau ketemu lagi. Emangnya kamu mau ketemu aku kalau udah tua?”

Dia hanya tertawa lalu, menjawab “setua apa? kita cuma beda beberapa tahun. enggak ada yang salah sama umur. kalau waktunya harus ketemu ya ketemu, kan?”

Aku hanya mengangguk dan menatapnya seperti ingin membungkus tubuhnya agar hangat tapi, selalu kembali dingin. Takut ditolak, takut dianggap berlebihan, atau mungkin takut kenyataannya tidak pernah bertemu dan runtuh. jadi, aku hanya menyimpannya, menulisnya dan merawatnya diam-diam.

2

Kadang aku iri pada mereka yang sering bertemu dengannya. Entah di rumahnya, kampus atau lewat telepon. Sedangkan aku hanya berani jatuh di halaman buku, mengumpulkan surat-surat, membaca puisi di koran dan hening. Aku bertemu Niskala seperti hujan, tanpa janji dan tanpa aba-aba. Tapi, terkadang ia menelponku sewaktu-waktu di jamnya yang tidak sibuk. ia belum pernah mendatangi rumahku padahal ia tahu alamatnya tapi, aku tidak pernah menunggunya datang ke rumah.

Suatu malam, aku menutup buku harianku dengan kalimat ini:

Cinta pertama bukan soal dengan siapa kamu bertemu pertama kali, tapi siapa yang membuatmu ingin terus menulis tanpa henti.

Dan sejak mengenal Niskala aku tidak berhenti menulis.

Lihat selengkapnya