Jangan kemana-mana,ya!

Meidiana Shavira
Chapter #4

Hilang

1

Jakarta, 2003

Aku tidak pernah menyangka sebuah perjalanan study tour sekolah bisa meninggalkan catatan panjang di buku harian. Pagi itu, bus kami melaju dari Bandung menuju Jakarta. Jalanan berliku, matahari menyalakan bumi dan sejuk. Aku duduk di dekat jendela, menatap keluar sambil membawa mimpi-mimpi indah yang masih setia menempel di kepalaku.

Jakarta, kota yang dulu hanya ku bayangkan lewat televisi dan koran, kini aku menginjakan kakiku di tanahnya. Gedung-gedung pencakar langit terlihat dari jendela bus yang ku tumpangi, siruh suara teman-temanku yang pertama kali pergi ke kota ini. ya, seperti mimpi yang menolak di remukan, jalanan macet, suara klakson dan udara panas yang berbeda jauh dari Bandung yang sejuk. Tujuan pertama kami adalah pergi ke monas. Aku berdiri menunggu antrian masuk ke dalam sambil membawa buku dan alat tulis, siapa tahu ada hal yang perlu untuk di tulis.sekarang jika study tour hanya perlu membawa handphone lalu memotretnya, tidak perlu membawa buku tulis lagi.

Kami berfoto di atas secara bergantian,entah melalui handphone, handycam atau kamera. Oh, temanku membawa handycam untuk jaga-jaga sebagai kenangan yang mungkin akan di putar nanti sewaktu-waktu saat reuni, jika perlu. Siang itu, kami melanjutkan pergi ke taman mini dan untuk makan siang. Dari jauh, ku lihat anjungan-anjungan daerah dengan arsitektur berbeda. Teman-temanku sibuk berfoto, tertawa, berlari-lari kecil bahkan masuk ke keong mas. Aku berjalan sedikit menjauh sambil menyuap chiki cuba yang ku bawa, aku mencari udara segar namun tetap panas dan mencari kesunyian tapi ramai.

Dan disanalah aku melihatnya.

Niskala.

Aku hampir tidak percaya ia berdiri di dekat danau kecil, mengenakan jersey dan celana jeans pendek bersama beberapa temannya. Senyumnya sama seperti dulu, hangat tapi menyimpan misteri yang sulit kutebak. Aku terdiam. Kakiku membeku, jantungku berdegup terlalu cepat dan wajahku memanas. Ada rasa kaget yang bercampur malu, seakan aku tertangkap sedang menyimpan rahasia.

“Niskala … “ bisikku pelan.

Aku ingat betul bagaimana matanya menyapu sekitar, seakan mencari sesuatu. Sesaat berharap ia mencari aku. Tapi, kemudian aku sadar, mungkin aku hanya sedang berlebihan. Aku ingin melangkah mendekat tapi, kakiku menolak. Aku takut jika aku datang, ia tidak mengenaliku lagi. Aku takut menyapanya lalu, ia hanya tersenyum singkat lalu, pergi. Jadi aku memilih diam. Malu bercampur aduk, rindu yang mendalam. Berapa lama aku tidak menemuinya walaupun ia sering meleponku melalui telepon rumah atau sesekali ia mengirim surat untuk janjian. Tapi, akhir-akhir ini aku tidak mendapatkan telepon darinya, aku selalu pulang sore dan tidak ada waktu lagi untuk menjawab telepon.

Teman-temanku memanggilku untuk berfoto. Aku ikut, tersenyum seadanya, tapi mataku tetap mencuri pandang ke niskala yang sedang berbincang seperti sedang membuat tugas bersama temannya yang membawa alat surveyor. hingga akhirnya, aku benar-benar berpapasan dengannya. Ia menoleh di sepersekian detik, mata kami bertemu.

Aku kaget. Ia juga seperti terdiam sebentar.

Lalu, ia tersenyum sebentar. senyum sederhana tapi, cukup untuk membuatku lupa bagaimana caranya bernapas. Aku ingin membalas tapi yang keluar hanyalah senyum kikuk yang bahkan terasa kaku di wajahku. Setelah itu, aku buru-buru menunduk, pura-pura sibuk dengan kamera di tangan temanku.

Itu nyata atau bukan? Ia benar-benar seperti cenayang yang tahu keberadaanku lalu, tiba-tiba hadir.

2

Sepanjang perjalanan pulang ke Bandung, aku hanya diam. Di jendela Bus, bayangan Gedung-gedung Jakarta perlahan berganti sawah dan bukit. Tapi, pikiranku tetap tertinggal di Taman mini, di sebuah senyum yang membuatku gugup di tatapan yang singkat yang seakan berkata cepat pulang.

Lihat selengkapnya