1
Aku tidak pernah tahu, saat aku duduk di kursi bioskop malam itu, popcorn di pangkuanku, tawa teman-temanku berbaur dengan suara film yang riuh,telepon dirumahku sempat berdering.
“Tadi ada telepon dari cowok lagi. nggak tau siapa,”
Aku menoleh setengah kaget. “Kapan bu?”
"Tadi sore, kamu kan belum pulang masih main,”
“Terus ibu bilang apalagi?”
“Main ke palaguna. dia nggak bilang apa-apalagi cuma bilang oh, doang terus di tutup.”
Aku tercekat. Jadi, di saat aku berpura-pura tidak mengenalnya di lorong bioskop, ia justru sedang mencoba menjangkauku lewat suara yang tidak sempat kudengar.
Dunia sebercanda itu?
Kadang aku merasa hidupku seperti naskah yang di tulis dengan tinta bercabang dua. Membuat halaman-halaman baru yang barangkali tiap bab akan menemukan maksud dan tujuan secara acak namun, pasti. Bagian lainnya, kau sedang menelepon, mencari aku yang tidak ada di rumah. Apakah itu bisa disebut takdir?tapi, selalu meleset.
Aku berbaring menatap langit-langit kamar. Rasanya aneh, aku marah sekaligus rindu, sekaligus berharap. Bagaimana dua rasa yang bertolak belakang hidup di dada yang sama?
2
Beberapa hari setelah telepon itu, aku akhirnya memberanikan diri. Ada sesuatu yang tidak bisa lagi ku tahan. Aku hanya ingin menemuinya, mendengar suaranya tanpa terputus, ingin melihat matanya tanpa bayangan orang lain disisinya. Sehari ini aku di rumah, tidak kemana-mana karena libur sekolah. Aku menunggu telepon masuk tapi tidak berdering. di rumah aku hanya bersama bibi, seorang wanita yang setia membantu ibu di rumah walaupun ibu pergi bekerja. Ia selalu bertanya kepadaku yang biasanya setiap libur, aku pergi untuk main keluar.
Sore itu aku pergi ke warung sebentar untuk membeli cemilan tapi, saat aku tiba di rumah aku melihat ibu sedang asik mengobrol dengan seorang pria yang sangat aku kenal. dia Niskala, Aku tersontak kaget, malu untuk masuk ke dalam rumah. Tapi, ibu melihatku.
“Hai... sini ada tamu mau ke Aluna katanya,”
Aku menghampirinya, pura-pura tidak terjadi apa-apa.
“Udah lama?” tanyaku kepada Niskala.
“Belum setahun,” katanya.
“Oh..”
“Aku tadi bilang ke ibumu, mau pinjam kamu sebentar. kamu mau aku pinjam?” tanyanya sambil tersenyum ringan.
“Emangnya barang bisa di pinjam. mau kemana?” tanyaku bingung sambil melirik ibuku yang pergi ke dapur menyiapkan minuman.
“Ke tempat yang belum pernah kamu datangi,” Katanya
“Bawa aja main. kasian dia nggak punya temen di dalem rumah,” Sahut ibuku sambil meletakan kopi untuk Niskala.
“Boleh?” tanya Niskala.
“Boleh.” Jawab ibu.
Aku hanya terdiam dengan keheningan dan suara jam dinding yang terdengar. Hingga akhirnya aku berangkat bersamanya menaiki motor, keluar dari jalanan komplek menuju Pajajaran dan berhenti di sebuah rumah dengan konsep sederhana namun bergaya kolonial Belanda. Di depannya ada halaman luas dengan cat tembok yang sudah kusam namun tetap terlihat asri. Ini adalah rumah Niskala sedangkan di Tamansari kost nya. Aku berjalan sambil melihat-lihat lalu, diam di depan pintu. Ia masuk ke dalam rumah seperti sedang memanggil orang.
“Siapa?” tanya seorang wanita muda mungkin seumuran ibuku.
“Temannya Niskala, tante,” jawabku.
“Oh, masuk,” katanya sambil mempersilahkanku.
Aku duduk di sofa panjang sambil menyimpan tasku di pinggir.
“Tadi kata Niskala nama kamu siapa?Luna?” tanyanya lagi.
“Iya, tante panggil aja Luna,” jawabku
“Bagus ya namanya. kamu ngobrol-ngobrol aja dulu ya, mau minum apa? air putih, kopi atau teh?”
“Air putih aja, tante. makasih.” jawabku tersipu malu.
Niskala datang dengan membawa kotak dus yang berisi sejumlah buku novel. Ada tentang filsafat, sejarah, sastra, bahkan sampai yang bergenre romantis pun ada. Ia duduk di hadapanku sambil menyimpan seluruh buku di meja. Aku hanya diam menatapnya dengan bingung. Kenapa ia membawaku ke rumahnya?
Rumah ini tidak terlalu besar namun nampak asri dengan ukuran kira-kira 9x8m namun ada sisa halaman luas di belakangnya yang menurutku masih cocok untuk di bangun 2 kamar tidur dan 1 kolam ikan. Ia hanya tinggal bersama ibunya. ayahnya pergi merantau ke Dili sejak ia SD dan tak pernah ada kabar lagi. Baginya itu bukan suatu hal yang membuatnya sedih namun, menjadi titik kekuatan untuk melanjutkan hidup.