Jangan kemana-mana,ya!

Meidiana Shavira
Chapter #6

Jalan yang retak

1

Bandung, 2004

Ada masa dimana hidup tidak selalu berjalan dengan mulus. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berteduh, tempat paling tenang kini berubah menjadi panggung drama. Ayah dan ibu akhir-akhir ini seperti dua mata angin yang menolak. Satu tetap ingin aku di Bandung dekat dengan akar, dekat dengan sejarah dan dekat nama besar kampus yang di agungkan tiap orang tua pada umumnya. Sementara ibu tidak memaksa, bebas asal bisa menjaga diri.

Awalnya aku piker perbedaan itu hanya perdebatan kecil tapi, ternyata makin lama makin sering, makin keras, makin tajam. Dinding rumahku seperti ikut merekam dan meja makan sebagai saksi bisu ketidakselarasan.

Aku di tengah-tengah seperti benang ditarik dari dua ujung.

Aku membenci suara orang dengan nada tinggi, seakan – akan aku adalah trofi yang harus di menangkan.

Sore itu, setelah perdebatan yang tak kunjung reda, aku mengemasi beberapa pakaian ke dalam tas ransel. Tanpa banyak kata, aku keluar dari rumah. Aku butuh jeda, aku menginap di rumah Rani. Aku butuh diam diluar untuk mendengar diriku sendiri, bukan hanya suara orang dewasa yang saling bersilang.

Bandung sore itu menyambutku dengan dingin. Jalan-jalan dago penuh oleh anak muda, lampu-lampu toko, wangi kopi dan sepi. Aku membiarkan kakiku memilih tujuannya sendiri sebelum mampir ke rumah Rani. Hingga akhirnya aku berhenti di sebuah tempat makan sederhana yang sering ramai mahasiswa. Disitulah aku melihatnya.

Niskala.

Dia duduk di pojok bersama seorang perempuan. Teman kampusnya, aku tidak tahu mungkin. Mereka tertawa pelan, berbagi makanan, berbagi cerita yang tak bisa aku dengar. Aku berdiri lama, hatiku seakan menolak sekaligus ingin menghampiri. Lalu, akhirnya aku mendekat, meski tahu aku hanya akan melukai diri sendiri.

“Niskala … “ suaraku lirih, nyaris tak terdengar.

Dia menoleh, matanya sedikit terkejut. Senyumnya tipis, cepat sekali hilang. “Luna, kamu disini juga?”

Aku hanya mengangguk, mencoba tersenyum meski dadaku bergetar. Perempuan di sampingnya menatapku sebentar, lalu kembali menunduk pada piringnya. Aku tidak tahu dia siapa dan aku tidak berani bertanya.

Obrolan kami singkat, basa-basi yang terasa asing. Tidak ada kedekatan seperti dulu. Tidak ada tawa yang biasanya hadir begitu saja. Setelah itu, aku pergi. Aku pura-pura kuat tapi saat berjalan keluar rasanya seperti ada kaca yang pecah.

2

Sejak malam itu, Niskala tidak lagi menghubungiku. Tidak ada telepon, tidak ada pesan di handphone ku. Aku menunggu, awalnya dengan harap lalu pasrah. hari-hari kuisi dengan belajar, menggambar peta mimpi di kepala. Rani selalu ada untuku, mengajaku jalan-jalan, menemaniku tertawa agar aku tidak terlalu larut. Kadang aku bercerita, kadang aku memilih diam. Karena, bagaimanapun rasa kehilangan ini terlalu pribadi, terlalu dalam untuk untuk dijelaskan dengan kata-kata biasa. aku hanya tahu, aku harus bergerak. aku tidak bisa selamanya menunggu di satu pintu yang tidak pernah dibuka.

Beberapa hari kemudian, aku pulang ke rumah. Tas ransel yang ku bawa kembali ku turunkan di kamarku. Rumah masih sama tapi, sepi. Ayah membaca koran di ruang tamu, ibu sibuk di dapur. mereka tidak lagi bertengkar seperti kemarin tapi, keheningan itu lebih menyakitkan daripada suara keras.

Ibu menatapku sebentar, lalu tersenyum tipis. “Udah capek main di luar?” tanyanya. Aku hanya menjawab pelan. “Aku Cuma butuh waktu.”

Ibu mengangguk, tidak ada teguran, tidak ada kemarahan. Ayah, tanpa menoleh dari korannya, hanya berkata “ Kalau mau kuliah,, persiapkan diri baik-baik. Jangan banyak main.”

Aku terdiam. kata-kata itu menusuk tapi, aku tahu ia benar. Aku harus menyiapkan diriku.

3

Hari-hari berikutnya kuisi dengan persiapan ujian. Buku-buku tebal menumpuk di meja belajar, coretan rumus memenuhi kertas dan malam – malam panjang kulewati dengan mata terbuka. Kadang aku masih ingat Niskala, kadang wajahnya tiba-tiba hadir di sela – sela angka dan kata. Tapi, aku menepisnya. Aku berkata pada diriku sendiri tentang mimpi yang lebih penting. masa depan ini harus ku genggam meski tanganku gemetar.

Bandung, 2004 adalah musim ujian, musim memilih jalan, musim mencari keberanian dan aku Aluna, sedang di persimpangan. “Jangan maksa aku buat terus jadi yang terbaik, aku punya pilihan, kalian cukup jadi tempat aku pulang,” kataku kepada ayah dan ibu.

“Orang tua juga punya pilihan yang terbaik buat anaknya,” Sahut ayah.

“Tapi, nggak gitu caranya. kenapa selalu mengagungkan tempat yang aku aja nggak mau, aku cuma mau kehidupan yang baru, aku mau mandiri bukan berarti aku nggak mau di awasin. aku juga nggak sendiri, ada Rani.”

Ayah hanya terdiam, tidak menjawab seolah tak ingin ada perdebatan yang ujungnya tidak pernah selesai.

Aku menjatuhkan tubuhku di kasur yang hangat dengan segala kebingungan, pikiran kosong dan tatapan langit-langit kamar disambut dengan rintihan hujan. Aku kira hidup menjadi dewasa itu menyenangkan, ternyata aku ingin kembali kecil. Dewasa itu rumit. entah tentang melanjutkan hidup saat selesai sekolah, kuliah, kerja, bahkan tentang percintaan yang tidak pernah benar-benar hadir dengan serius.

Lihat selengkapnya