1
Jakarta, September 2005
Hidupku resmi pindah dari Bandung ke Jakarta. bukan sekedar pindah alamat tapi, pindah ritme, pindah cara bernapas walaupun udaranya panas. Bandung dengan udara sejuk dan kabutnya kini berganti dengan Jakarta yang penuh debu, panas dan suara yang tak pernah berhenti. jika Bandung adalah musik akustik yang terdengar syahdu maka Jakarta adalah musik elektro yang terus berdentum tanpa henti.
Ayah sibuk dengan pekerjaannya, bahkan lebih sibuk dari biasanya. Ibu pun larut dalam kegiatannya sendiri. Aku tidak menyalahkan mereka, aku hanya merasa ditinggalkan sedikit lebih cepat dari yang kupikirkan. tapi, aku beruntung mempunyai Rani yang juga memustuskan untuk ikut berkuliah di kampus yang sama denganku walaupun ia melalui jalur mandiri. katanya supaya aku tidak sendirian.
“Kalau nggak ada aku, kamu udah jadi pohon kering. kamu ngga bisa hidup sendirian di kota yang berisik dan keras ini,” katanya sambil terkekeh.
Aku tertawa kecil. “Pohon kering juga masih bisa bertahan, Ran. tapi ya, makasih.”
Kami mencari kos bersama. Menyusuri gang-gang komplek, pemukiman padat, rumah susun, melihat-lihat kamar sederhana dengan dinding yang sudah kusam, jendela yang menatap jalan dan suara radio tetangga yang kadang bocor lewat dinding.
Akhirnya, kami menemukan sebuah kosan sederhana walaupun jarak dari kos ke kampusku bisa mencapai 47 menit. Kos ku tidak mewah tapi nyaman untuk di tempati, cukup hangat, ada meja kecil, kasur dan jendela yang bisa kubuka untuk melihat langit Jakarta yang kadang biru, kadang abu-abu. Sebenarnya Rani ingin di Apartemen tapi, ia ingin mengajariku untuk sederhana saja.
Aku menaruh buku-buku di rak, menggantungkan mimpi di dinding. Aku menghias kamarku dengan seadanya. Kamar Rani ada di depan kamarku, ia sedang beristirahat dan nanti kami akan pergi berkeliling Jakarta.
2
Hari-hari pertama memasuki kampus terasa asing. wajah-wajah baru, suara-suara baru. Aku berusaha mengikuti semuanya, meski kadang pikiranku masih terseret pada nama yang tak pernah sempat pamit.
Rani selalu menarikku kembali ke dunia nyata.
“Ayo, kita jalan-jalan. kamu harus belajar jadi orang Jakarta.” katanya suatu sore.
Dan begitulah, kami memulai perjalanan kecil menaklukkan kota ini.
“ Lun, ini pertama kali kamu naik KRL?” Rani menatapku dengan semangat.
Aku mengangguk, meski gugup. kereta itu penuh orang-orang berdesakan, pintu terbuka lalu menutup cepat. Kami berdiri di atas kerumunan, saling berpegangan agar tidak terjatuh. Aku menatap wajah-wajah asing, pekerja kantoran, anak-anak sekolah, mahasiswa lain. Semua terburu-buru, punya tujuan.
“Jakarta itu kaya KRL,” kataku pelan kepada Rani.
“Maksudnya?”