1
Hari-hari setelah ospek berjalan cepat, seperti kereta KRL yang tak pernah benar-benar berhenti. Kampus mempertemukanku dengan wajah-wajah baru, masing-masing membawa cerita yang belum kutahu sepenuhnya dan akan seberapa besar pengaruhnya dalam hidupku.
Aku bertemu Nuri di perpustakaan. Gadis bersuara lembut, dia mendekat waktu aku sedang menyalin ringkasan teori, duduk di sebelahku.
“Kalau lo butuh catatan tambahan, gue punya. gue suka buat mind-map.”
Sejak saat itu, ia jadi teman belajar yang telaten, seperti jangkar kecil yang membuatku tidak hanyut dalam panik.
Elsa, hadir berbeda yang aku kenal saat sedang berkumpul di unit kegiatan, suaranya renyah penuh energi, selalu membuat ruangan jadi lebih tenang. “kamu punya suara yang bagus.” Katanya waktu aku masih ragu mempekenalkan diri di depan forum. Elsa yang kemudian menarikku ke dalam lingkaran itu, mengenalkanku pada dunia mikrofon, mixer audio dan ruang siaran yang berbau kabel dan parfum ruangan.
Dan ada Bastian, dia pemusik, aku bertemu dengannya saat technical meeting di studio. Ia menyapaku lebih dulu, ringan seperti sudah kenal lama. “Aluna, gue sering denger lo latihan, bagus. Suara lo juga jernih.” Aku hanya bisa tersenyum kikuk. Sejak itu, ia sering muncul di lingkaranku, kadang ikut membantu teknis siaran, kadang sekedar duduk bercanda.
2
Kabar baik datang setelah beberapa bulan bergabung. Aku dipanggil ke ruang sekretariat UKM.
“Selamat, Aluna kamu terpilih menjadi ketua penyiaran radio untuk periode tahun ini.”
Aku terdiam beberapa detik, antara kaget dan tidak percaya. Menjadi ketua bukan berarti hanya menyiarkan suaraku, tapi juga memimpin, mengatur jadwal, menenangkan konflik kecil antaraggota. Aku menerima dengan senyum kecil, meski dalam hatiku berbisik bingung.
Kabar buruknya datang hampir bersamaan. Rani harus pulang ke Bandung, malam itu dia duduk di ujung Kasur, menyenderkan badannya ke tembok, menatap lantai yang hangat.
“Aku harus cuti kuliah, ada masalah di rumah, nggak bisa tinggal disini dulu,”
Aku tercekat. “Baru juga masuk Ran, udah mau pulang lagi. emang harus banget pulang, ya? kapan kesini lagi?”
Ia mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. “Aku nggak tau pasti kapan aku kesini lagi, melanjutkan lagi. aku titip kamu, jaga diri kamu.”
Aku memeluknya erat, menahan tangis, Rani bukan hanya sahabat, ia semacam rumah yang ku bawa dari masa sekolah, kini rumah itu harus kembali ke asalnya.
3
Hari-hari setelah kepergian Rani, rasanya sunyi. Tidak ada lagi tawa keras yang memanggil namaku dari kejauhan. tidak ada lagi perjalanan panjang bersama. Aku kini pergi sendirian, menuggu kereta tanpa tangan yang bisa ku genggam sambil mengeluh soal tugas. tapi, aku harus tegar.
Aku punya Nuri, Elsa dan Bastian yang aku temukan di tempatku belajar meski, mereka tidak bisa menggantikan Rani, mereka adalah bentuk lain dari semesta yang tidak ingin aku benar-benar sendiri. Suatu sore Bastian berkata kepadaku “lo kelihatan kuat ya, jangan terlalu di pendam nanti lo gila.”
Aku tersenyum setengah getir. “Lo tahu darimana?”
“Dari cara lo ketawa. Biasanya orang yang hatinya penuh luka biasanya ketawa lebih keras, biar nggak ketahuan.”