Jangan kemana-mana,ya!

Meidiana Shavira
Chapter #11

Luka yang tinggal

1

Ujian semester telah berlangsung seperti badai yang tak memberi waktu untuk bernafas. di meja ruang ujian, aku menunduk menuliskan jawaban seolah nasibku ditentukan oleh angka, logika, kejiwaan. Pulpenku bergerak, kertas ujian penuh esai tapi, di balik semua itu ada ruang kosong yang menetap, sepi.

Rani terus berputar di kepalaku, aku tidak mendapati kabarnya lagi seperti hilang di telan bumi. Aku tahu ia sedang tidak baik-baik saja, sama sepertiku, bedanya ia dengan keluarga, aku dengan hatiku. Kursi kosong di sebelahku adalah simbol dari kehilangan yang seakan-akan bayangannya masih menemaniku, hanya tak bisa kusentuh.

Aku pernah berpikir, kesepian bisa di atasi dengan kesibukan. Tapi di sela menjawab soal, bayangan wajah Rani muncul tanpa permisi bahkan gumamnya saat sedang bosan. Semua itu kembali padaku, lalu menghilang, meninggalkan jejak. Aku menunduk, menulis kalimat akhir, menyimpulkan sebuah tulisan lama. Namun, di kepalaku bukan lagi terisi dengan teori-teori kepribadian melainkan tentang kehilangan yang nyata.

2

Jakarta selalu berisik dengan transpotasi dan warganya, orang-orang berlari mengejar waktu, seakan semua punya tujuan yang harus dicapai. Namun, aku berjalan di tengah keramaian itu dengan hati kosong, lampu-lampu kota masih meredup. Aku tersenyum ketika bertemu teman, menjawab obrolan tapi, senyum itu hanya topeng tipis.

Kadang aku merasa tubuhku berjalan di atas trotoar, tapi jiwaku tertinggal di Bandung, tertingal di suatu tempat yang jauh diantara kenangan yang tak mau lepas. Suara motor dari belakang menghampiriku, ia seolah ingin aku tumpangi, aku ingin menangis sejadi-jadinya.

“Pulang bareng, yuk. Sekalian jalan-jalan,” kata Bastian tiba-tiba berhenti.

“Boleh, bawa aku yang jauh.” Kata-kata itu tidak aku keluarkan sepenuhnya. Aku hanya menunduk, mengangguk, tersenyum dan menaiki motornya, menyusuri jalanan panjang dengan udara hangat lalu, berhenti di café.

Café itu sederhana mungkin, sekarang bentuk bangunannya sudah aesthetic dan lebih ramai. Lampu-lampu gantung bergaya industrial menyorot meja kayu panjang. aroma kopi yang tercampur dengan wangi kayu manis dari pastry yang baru keluar oven.

Kami duduk di pojok, dekat jendela besar yang memperlihatkan jalan. Aku memesan ice latte, sementara Bastian americano. Mungkin hidupnya sudah pahit ditambah minumannya yang pahit.

“Gue suka liat lo terlalu serius kalau jalan kaki. Rasanya kayak lo lagi buat cerita di kepala sendiri,” Ucapnya sambil menatapku.

Aku tertawa kecil. “Setiap detik bisa jadi kalimat, setiap tatapan orang bisa jadi paragraf, termasuk lo yang sering banget ngikutin gue, kaya gue punya bodyguard padahal enggak,”

“Dengan senang hati gue bisa jadi bodyguard lo.” Katanya.

"Tapi, jangan soalnya nggak gue gaji,” Kataku meledek “Oh, abis ini gue mau ke tempat Elsa, lo anter gue bisa nggak?”

“Boleh…”

Aku kadang berpikir bahwa, barangkali dia bisa menjadi pengganti ruang kosongku tapi, ternyata belum bisa. Masih banyak hal yang tidak bisa aku lepaskan begitu saja dari tubuhku yang mudah rapuh.

3

Elsa mengajakku menginap di apartemennya yang tidak jauh dari kos ku. “Biar lo nggak sendirian, mending nginep aja di tempat gue.” Katanya.

Apartemennya di lantai 24, jendela besar memperlihatkan kota dengan ribuan lampu malam. Ruangan tipe 2 kamar yang luas, memperlihatkanku bahwa ia pasti orang berkecukupan. Ada aroma kopi yang baru diseduh, musik lembut mengalun. Nuri sudah ada di sana, duduk di sofa panjang dekat balkon yang terbuka.

Kami duduk bertiga, mengobrol tentang kuliah, dosen, bahkan tentang cinta. Elsa bercerita ia jatuh cinta pada dunia anak-anak, Nuri bercerita tentang mimpinya sebagai penyiar radio. Aku tersenyum dalam hati, bagaimana dengan mimpiku? Apakah aku masih punya tenaga untuk mengejar apa yang aku mau ketika dua orang pergi dengan mendadak tanpa kabar, tanpa janji.

4

Lihat selengkapnya