1
Jakara selalu terlihat berbeda dari lantai dua puluh. Gedung-gedung lain seperti mainan lego yang disusun rapi, jalanan hanya garis tipis berkelok dengan lampu-lampu kecil menyerupai kunang-kunang. Aku mulai magang setelah lamanya menjalani perkuliahan yang cukup membuatku sibuk.
Nyatanya setiap waktu berputar lebih cepat dari yang ku kira, meluangkan rasa jenuh di balik raga yang terlihat kuat. Tidak pernah ada lagi garis-garis terputus yang membuatku hilang arah, tidak ada lagi bayangan Niskala yang memang sudah jauh di makan angin. benar, jangan pernah jatuh cinta di Bandung.
Di ruangan itu, tempat aku duduk, meja kerja penuh laptop, tumpukan kertas dan secangkir kopi dingin yang belum sempat aku habiskan. Suasana kantor di Gedung tinggi yang menjadi tempat favoritku begitu formal, orang-orang sibuk, kadang bercanda, kadang mereka beristirahat kadang mengejar target.
Aku sendiri masih canggung rasanya tubuhku hadir di sini, tapi sebagian jiwaku berceceran di Bandung. Bahkan ketika aku mendapati temanku tergeletak, dirawat di rumah sakit sampai pada akhirnya aku tidak tahu penyakit apa yang di deritanya, apakah lebih berat dari aku atau sekedar tifus?
“Luna… bisa tolong cek data ini?” suara supervisor memanggilku, menyadarkan dari lamunan.
Aku tersenyum, mengangguk, lalu kembali tenggelam di layar laptop. Namun, dalam hatiku berbisik : aku ingin pulang.
“Lun, 15 menit lagi istirahat. jajan,yuk!” kata temanku yang duduk di samping.
“Ayok, mau jajan apa?” tanyaku.
“Apa aja yang penting kita gendut bersama.” Katanya sambil tertawa seperti menghibur diriku.
Namanya Tiffany, perempuan yang lebih tua dariku. ia telah mengabdi di tempat ini kurang lebih sekitar 5 tahun lamanya. Katanya mulai dia dari ikut magang kuliah sampai di panggil untuk bekerja. Aku juga ingin seperti itu, bekerja di tempat yang sesuai harapanku apalagi kota ini memang benar-benar sibuk. Aku juga sering bertanya-tanya tentang tempat ini, tempat dimana aku magang sebagai staff human resource internship yang terkadang aku harus benar-benar teliti untuk memilih data.
2
Suatu sore ketika pekerjaan sedikit reda, ada panggilan tak terjawab dari ibu Rani. Aku menelepon balik tapi, tidak diangkat. selang berapa menit, pesan singkat pun muncul mengenai kabarnya yang membuat jantungku berhenti sesaat. aku memegang layar ponsel erat-erat, seperti angin menembus jarak. Rani, gadis yang dulu siap menemani, kini ia berbaring lemah di ranjang rumah sakit.
Besoknya aku izin kerja, kembali ke Bandung dengan hati yang penuh kegelisahan menuju rumah sakit dimana Rani di rawat. Semua sudah terlambar, pihak rumah sakit tidak mengizinkan banyak pengunjung dan hanya boleh melihat melalui kaca. Aku hanya bisa menunggu ia bangun dari tidurnya.
Aku pulang ke rumah dengan kosong. jiwaku entah ada dimana, ragaku pun begitu seperti jauh tapi, harus tetap berjalan. rumah itu seperti bukan lagi tempatku pulang, ayah dan ibu masing-masing larut dalam kesibukan. Tidak ada lagi hadiah ketika aku pulang. ketika akhirnya aku disambut dengan pintu yang sedikit terbuka dan wajah dingin yang singkat.
3
Setelah aku kembali ke Jakarta dengan kesibukanku, aku mendapat kabar kembali dari ibu Rani. Malam itu, semua runtuh. duniaku sedang tidak baik-baik saja, nama yang muncul membuat napasku tercekat. Tanganku gemetar saat mengangkat telepon. “Luna … “ suaranya serak, pecah. “Ikhlas ya buat Rani, maaf kalau dia banyak salah.”