1
Aku masih magang di sebuah gedung tinggi di jantung kota yang menjadi rumah keduaku. Dinding kaca di sekelilingnya memperlihatkan dunia dengan sibuk. Setiap pagi, aku naik lift bersama orang-orang berpakaian rapi dan wangi. Aku hanya satu dari ratusan wajah yang terlihat lelah sebelum jam kerja dimulai. Kadang, aku merasa Jakarta ini bukan kota melainkan mesin raksasa yang siap menelan siapa pun yang berani tinggal di dalamnya.
Di meja kerjaku, ada satu hal yang berbeda, sebuah buku novel yang selalu kubawa. Bukan buku catatan kerja, melainkan 80 novel pemberian Niskala yang hanya aku pegang 5 buah buku. Aku membacanya di sela-sela kesibukan, seolah buku itu adalah kabel tipis yang masih menghubungkan aku dengan masa lalu.
Magang kali ini harusnya menjadi kebanggaan, bisa kerja di gedung tinggi, bisa melihat kota dari jendela kaca. Tapi, di balik itu aku hanya merasa kosong. Keluargaku renggang seketika, Bandung bukan lagi tempatku pulang melainkan hanya tempat aku untuk pergi sebentar lalu, pulang kembali ke Jakarta. Aku belajar bahwa tidak semua kehilangan datang dengan suara keras melainkan perlahan yang diam-diam pudar tanpa disadari.
Aku pergi ke bawah menuju café di depan kantor bersama temanku. Sesekali aku berdiri di lobby untuk memberikan berkas kepada resepsionis. Kali ini aku benar-benar menemukan wangi parfum yang mirip dengan Niskala, selewat tapi sama. Aku menoleh, mencari arah darimana datangnya wangi tersebut. rasanya aku benar-benar ingin menemuinya.
“Lun, lo mau ngopi ?” tanya Tyas.
“Yuk, gue lagi mau yang pahit-pahit,” Kataku
“Tumben, biasanya lo pengen yang manis. lagi galau lo?”tanyanya sambil berjalan keluar.
“Enggak.. gue lagi pengen aja.” kataku menyakinkan.
Saat tiba di café, aku duduk bersamanya membicarakan tentang pekerjaan, bahkan aku menceritakan tentang tadi, menemukan wangi yang pernah ku kenal.
“Tadi ada anak baru, cowok, nggak lama dari tempat lo berdiri tadi,” Katanya sambil menyeruput kopi.
“Oh, gue nggak tahu tapi, parfumnya kecium cuma orangnya nggak ada. emang siapa?” tanyaku.
“Gue nggak kenal, nanti gue cari tahu,” Katanya.
“Oke...” kataku sambil mengangguk.
“Lo, penasaran banget emang?” tanyanya lagi.
“Nggak juga sih cuma familiar aja wanginya,” Kataku.
“Mantan lo kali,” Katanya menggoda.
“Haha…gue nggak punya mantan.”kataku
Aku masih bisa mencium aroma itu. Parfum yang biasa dipakai Niskala di Bandung kini ada di Jakarta yang dulu menemani sore-soreku dengan motornya. Bagaimana mungkin aroma itu membuka kembali pintu kenangan yang lebar itu? Sedangkan kabarnya pun tidak ada lagi. Tyas menatap ke arahku, menyandarkan punggunggnya.
“Yaa... lagian bisa aja ada orang yang punya parfum yang sama kan?”
“Mungkin…”
Aku tersenyum kecil, tapi di dalam dadaku, jantungku berdegup tak karuan. Aku mberusaha terlihat tenang tapi, tanganku gemetar sedikit saat meminum kopi.
2
Aku menatap keluar jendela, hujan mulai turun perlahan, butiran air mulai menempel di kaca, memantulkan cahaya yang hampir tidak terlihat. Jakarta di sore hari sebelum aku pulang selalu punya cara mengingatkan hal-hal yang belum selesai.
Dan bagiku, yang belum selesai itu Bernama Niskala.
Aku masih ingat jelas hari terakhir kami bertemu, di depan rumahku di Bandung. Ia membuat ciuman pertama yang di akhiri dengan perpisahan. Waktu itu aku belum tahu, bahwa perpisahan lebih menyakitkan tanpa kata-kata.
“Lo, kenapa bengong?”
Suara Tyas mengembalikanku ke dunia nyata.
Aku menggeleng cepat. “Enggak. cuma mikir aja,”
“Mikir parfum orang itu, ya?”
Aku tertawa kecil. “kayaknya iya,”
Tyas mengangkat alis. “Kalau segitunya, mungkin lo harus cari tahu atau gue yang bantu cari info?”
Aku menatapnya dalam-dalam. “Tyas, lo percaya nggak seseorang bisa hadir lagi, bukan karena kebetulan, tapi karena waktu memang sengaja mengulang cerita yang belum selesai?”
Tyas mengernyit. “Bahasa lo udah kaya novelis aja. ya, mungkin bisa aja tapi, jangan ketinggian berharap nanti lo jatuh,”