Jangan kemana-mana,ya!

Meidiana Shavira
Chapter #14

bertemu tapi tertunda

1

Hari itu, Jakarta tampak lebih lembut dari biasanya. Udara yang hangat membawa ku pergi dengan aroma kertas yang baru saja aku baca tadi. Aku keluar dari stasiun Gondangdia menyusuri trotoar menuju gedung yang dipenuhi spanduk warna-warni bertuliskan Jakarta book fair .

Setelah berbulan-bulan disibukkan oleh magang, akhirnya aku punya waktu untuk berjalan sendirian.

Tanpa Tyas, Nuri, Elsa, Bastian. Hanya aku, sebuah totebag berisi catatan sederhana dan rencana yang akan aku habiskan dengan membaca dan membeli buku.

Seperti kebanyakan hal dalam hidupku, rencana sering kali berubah menjadi pertemuan yang tidak pernah kuduga.

2

Di dalam gedung, aroma kertas baru bercampur dengan aroma buku-buku lama. Aku berjalan pelan sambil melihat-lihat buku, menyentuh sampul satu per satu, membaca judul yang asing tapi, hangat. di salah satu sudut, ada stand kecil bertuliskan penerbit.

Aku berhenti,

Ada sesuatu yang membuat langkahku tertahan. Sampul-sampul buku di sana tampak familiar. Beberapa di antaranya aku tahu persis, banyak koleksi buku yang dulu sering dibaca Niskala. Mataku berhenti di sebuah novel tipis berjudul Bandung bersama dewita.

Dadaku menegang.

Aku membuka halaman pertama dan disana tertulis nama penulisnya: Kala.

Tanganku bergetar kecil.

Mungkinkah…?

Seseorang menepuk bahuku dengan lembut. Aku menoleh, seorang wanita paruh baya berdiri disana dengan rambut pendeknya seleher. matanya teduh dan senyum seolah menenangkan seluruh dunia. wajahnya begitu familiar, meski termakan waktu.

“Aluna?”

Suaranya lirih, tapi pasti.

Aku terdiam. dunia seperti berhenti di antara hembusan angin pendingin ruangan dan suara langkah pengunjung.

“Iya, tante,” suaraku nyaris seperti bisikan.

Ia mengangguk, matanya berkaca-kaca.

“Kamu masih ingat?” katanya

Aku menunduk, menahan napas yang bergetar. Bagaimana mungkin aku lupa. Ia ibu Niskala, perempuan yang dulu menyambutku, memberiku bekal rendang yang lezat. Senyumnya renyah setiap kali aku datang bersama Niskala.

Kami duduk di bangku dekat rak-rak buku. Aku masih berusaha mengatur napas, menenangkan degup jantung yang sejak tadi belum mau tenang.

“Tante, masih tinggal di Bandung?” tanyaku pelan.

Ia mengangguk. “Masih. tapi udah jarang ke rumah. sekarang tante ikut adik tante disini. Kamu sendiri?”

“Aku kuliah di Jakarta sambil magang,”

Ia menatap hangat tapi, ada sesuatu di balik senyum itu yang membuatku sulit menatap balik.

Beberapa detik kami sama-sama diam.

Hanya suara keramaian dan musik lembut dari pengeras suara di dalam gedung.

“Aku sempat baca buku buatan Niskala,” Ucapku, akhirnya.

Ibu itu mengangguk pelan.

“Dia memang suka menulis. Sebelum magang di Jakarta, dia sudah menyiapkan naskah itu. Katanya terinspirasi dari orang yang dia kenal lama. Tapi, naskah itu baru sempat selesai,”

Aku menatapnya dengan mata membesar.

“Baru sempat selesai?”

Ia menarik napas panjang. “Yah, dia sibuk sama urusannya sampai dia pernah sakit, di rawat tapi, banyak yang nggak tahu,”

Suara itu bergetar. Tangannya seolah sedang berusaha menahan sesuatu.

Lihat selengkapnya