Jangan kemana-mana,ya!

Meidiana Shavira
Chapter #15

Suara dari Bandung

1

Langit Jakarta selalu tampak mendung. Mobil-mobil memenuhi kota, orang-orang tergesa-gesa seperti dikejar waktu. namun, di antara semua kesibukan itu, ada yang berbeda di hatiku. Arga berangkat ke Bandung sejak kemarin, katanya, hanya dua hari untuk urusan pekerjaan dan reuni. Tapi entah kenapa, perpisahan singkat itu terasa seperti jeda yang panjang. Seolah Sebagian dari rutinitasku ikut pergi bersamanya.

Pagi ini aku tidak magang, libur sehari. di atas meja kost ku masih ada memo kecil dari Arga yang ia beri semalam sebelum berangkat.

“Kalau kamu bosan, jangan lupa nulis. Jangan menunggu, karena menunggu itu tidak selalu menyenangkan.”

Aku tersenyum samar.

Menulis memang selalu jadi caraku menyembuhkan diri. Tapi, hari ini setiap huruf seperti kehilangan suara. Setiap kalimat terasa berat, seperti menuliskan sesuatu yang belum berani ku akui.

Tyas datang ke kost ku yang padahal harusnya ia masuk kerja sedangkan aku hanya magang. Ia membawa banyak makanan dan kue, mengobrol tentang gerahnya Jakarta, rumah barunya di kawasan bintaro dan tentang percintaan. Aku juga bercerita tentang aku yang akan survey apartemen di kawasan kuningan agar tidak jauh ke tempat magang tapi, akan jauh ke kampus.

“Tumben lo diem banget, Lun?” katanya sambil menepuk pundakku.

Aku hanya tersenyum. “Cuma lagi capek aja.”

Padahal bukan itu.

Aku hanya kehilangan ritme kecil, hal-hal sederhana yang selalu membuatku bangun di atas kehidupan yang cukup bercanda.

Tyas menatapku dengan tatapan penasaran. “Arga belum pulang ya?”

“Belum, masih lama.”

“Oh,” ia menyeruput kopinya. “Lo sadar nggak, sejak dia dateng, lo jadi lebih sering ketawa. ya, walaupun beda kantor,”

Aku tertawa pelan. “Lo teliti banget ya, merhatiin gue,”

Dia mengangkat alis. “Gue cuma pengamat baik, jarang loh ada anak magang kaya, lo,”

“Kenapa tuh?”

“Ya, pokoknya beda deh.”

Aku tidak menjawab.

Tapi dalam diamku, ada banyak pertanyaan yang enggan aku tanyai.

2

Malam itu, sepulang aku dari warung, ada amplop kecil terselip di bawah pintu. Tulisannya rapi dengan tinta hitam. Namaku tertulis disana, Aluna. hatiku berdebar pelan.

Kertasnya tipis, aromanya samar seperti wangi buku lama yang disimpan di lemari kayu. Aku membuka perlahan dan membaca perkalimat.

Luna,

yang kutemukan di Bandung. kini, hidup di Jakarta menari bersama berisiknya jalanan kota.

Hari ini, aku kembali menemukan jiwa ku yang hilang dengan nuansa baru yang indah namun, belum pasti. Sudahkah makan malam ini? aku bisa yakinkan suatu hari kita bertemu di tempat yang sama.

Tanganku bergetar.

Aku bahkan tidak tahu siapa pengirim surat itu. tapi, tulisannya mirip seseorang dari masa lalu. Entahlah, karena yang tahu alamatku hanya ibunya karena beliau meminta. Apa mungkin dia diberitahu?

3

Aku tidak bisa tidur malam itu. Pikiranku berpergian menuju masa lalu, pada wajah yang dulu pernah ku kenal. mata teduh, suara lembut dan senyum yang penuh ketenangan.

Niskala.

Nama itu kembali menggema di kepalaku, seperti lagu lama yang tiba-tiba diputar di radio tengah malam. kupandangi langit-langit kamar, bahwa kenangan tidak bisa benar-benar pergi, hanya tersembunyi di sela waktu.

Dua hari kemudian, aku kembali ke kantor bertemu Arga di area foodcourt. Ia terlihat sedikit lelah tapi tetap dengan senyum seperti biasa.

“Bandung masih dingin,” Katanya sambil duduk. “aku mau cerita, banyak kenangan disana,”

Aku menatapnya hati-hati.

“Kenangan?”

Ia hanya tersenyum samar, lalu mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah buku yang pernah aku beli di pameran. Buku Niskala yang berjudul Bandung bersama Dewita.

Darahku seperti mengalir sejenak, bagaimana dia bisa membawa buku itu, apakah dia membelinya juga. tapi, buku kali ini berbeda. di halamannya terdapat tulisan tangan yang ku kenal.

Untuk Aluna Dewita Putri, peri dongeng yang senang menulis, suka mengumbar puisi tapi, seadanya.

Aku memegang buku itu lama, tidak tahu harus menangis atau tersenyum. Arga menatapku tanpa bicara, hanya menunggu. Aku mengangkat pandangan. “Kok, kamu punya buku ini?”

“Itu punya temanku. dia kasih dan itu nama kamu?”

“Dunia sempit ya. kamu tahu dia?”

Arga menarik nafas panjang. “Dia adik tingkat dan sekarang kita kerja di tempat yang sama, disini walaupun dia lebih banyak di lapangan atau kadang-kadang pergi ke luar kota. Kamu sebenarnya sering ketemu kok, cuma nggak sadar aja. nggak nyangka ya dunia sekecil ini,”

“Tapi, aku emang nggak pernah lihat.”

Ia mengangguk.

Aku terkejut. Berarti aroma parfum itu benar nyata adanya. Kami duduk lama, hanya di temani cahaya dan kopi yang sudah dingin. Arga bercerita tentang ia bertemu Niskala kemarin di Bandung sebagai mentornya dan teman nongkrongnya. Katanya, Niskala jarang bicara soal masa lalunya, tapi sesekali Arga bilang “Dia cerita punya gadis yang suka nulis dan lagi merantau di Jakarta sampai waktu selesai.”

Hatiku bergetar.

Aku tahu siapa yang dimaksud.

Aku.

“Dia baik.” Katanya. “Tapi, kelihatannya menyimpan banyak hal yang belum diselesaikan,”

Aku menunduk. “Dia sama siapa kemarin?”

Arga menatapku dalam. “Sendirian…” katanya. “Bukunya cukup bagus. Tapi nama itu, nama kamu?”

Lihat selengkapnya