1
Pagi di tempatku magang terasa seperti halaman kosong di buku catatan yang belum ku isi. Cahaya matahari menembus jendela yang tinggi, jatuh di lantai lobby yang mengkilap. Aku berjalan menuju resepsionis, hendak mengantar berkas magang untuk divisi lain. langkahku berhenti saat mendengar tawa yang ku kenal, sangat tidak asing.
Di depan lobby dekat eskalator yang mengarah ke lantai mezzanine, berdiri tiga orang, Arga, Niskala dan perempuan yang kemarin mengajakku ngobrol. Mereka mengobrol santai. Arga tertawa kecil saat melihat kertas Niskala, mungkin membicarakan desain atau hanya mencari alasan agar percakapan tidak berhenti. Niskala tampak tenang sementara perempuan itu terkadang menanggapi percakapan. Aku tidak tahu siapa dia, apakah rekan kerja, teman atau sudah terisi di hatinya?
Langkahku hampir saja maju.
Hampir. tapi, keberanian itu gugur sebelum tumbuh.
Aku berhenti di balik tiang kaca, pura-pura tidak melihat, padahal mataku menatap refleksi mereka di pantulan dinding.
Detik-detik terasa panjang. Tanganku bergetar pelan sebelum aku memutuskan pergi dan saat aku melangkah keluar dari lobby, Niskala memalingkan wajahnya, melihatku. ya, ia melihatku.
Aku melewati security yang sedang sibuk dan mencoba menyembunyikan wajahku yang masih menyimpan getaran kecil dan masuk ke mobil Tyas yang sudah menuggu dari tadi.
“Dari tadi gue nungguin, lo. ngapain lama banget,”
Aku tersenyum tipis. “Mau ngasihin berkas, nggak jadi. mungkin nanti habis kita balik,”
“Makan diluar, yuk. Itung-itung kita jalan-jalan.”
Aku tertawa kecil.
Tawa yang tidak sungguh-sungguh, hanya menutupi getaran di dada. Mobil melaju perlahan di antara gedung-gedung tinggi sementara pikiranku tertinggal di dalam.
Tyas menatapku sekilas sambil menyetir.
“Lo, kenapa kelihatan aneh gitu,”
“Nggak, gue lagi mikir aja,”
“Mikirin cowok?”
Aku berpikir sebentar.
Kalimat yang seharusnya jujur tiba-tiba tertahan di tenggorokan. Aku hanya berkata. "Nggak, gue nggak punya cowok. cuma lagi mikir aja tentang rumah, kuliah apalagi gue mau pindah ke apart, kan,”
Tyas mengangguk. Seperti memahami tanpa perlu ku jelaskan lebih jauh.
“Kita makan dulu aja biar pikiran lo bisa tenang. anggap aja Jakarta rumah lo juga,” katanya. “udah cari apartnya? mau di apart gue nggak?”
“Gue cari yang nggak jauh dari tempat magang juga sih. udah ada kok, aman.”
Kami akhirnya berhenti di sebuah tempat makan kecil di tepi jalan Sudirman, tempat yang sering di penuhi pekerja kantor saat jam istirahat.
Tyas banyak cerita, tentang pekerjaannya yang menumpuk, tentang klien yang rewel, tentang rencana akhir pekan dan bahkan rencana menikah yang aku tidak tahu kalau sosoknya adalah pacar dari Arga yang aku juga kenal. aku mendengarkan tapi, pikiranku melayang. Pantas saja Tyas juga sering menanyakan tentang Arga atau pulang dengannya dan terkadang dia menyuruh Arga untuk mengantarku pulang.
“Luna,” suara Tyas memanggilku lembut, “Lo, tahu nggak kadang yang paling susah itu bukan melupakan seseorang. Tapi, kenangannya,”
Aku menatap Tyas heran.
“Kenapa ngomong gitu?”
Tyas tersenyum aja. “Feeling aja sih. gue liat lo kaya lagi berjuang buat ngelupain orang lama.”
Aku tidak menjawab.
Setelah makan, kami kembali ke kantor.
langit masih cerah, jam hampir menunjukan jam dua. di lift hanya ada beberapa orang. Aku berdiri di dekat dinding, membelakangi seseorang yang membalikan badannya, menatap angka-angka lantai yang berganti perlahan. Aroma itu aku kenal, mungkin ia memang di belakangku. Aku menutup mata, menarik nafas pelan. Lift berhenti di lantai 18, orang itu keluar dengan langkah yang tenang, tanpa menoleh. Sebelum pintu tertutup lagi, sekelebat bayangan samar tercermin di kaca. Aku menggigit bibir, lalu tersenyum kecil, pada bayanganku sendiri.
Ada pesan di hanphone ku yang mengatakan besok aku harus ke kampus untuk memberikan file kepada pembimbingku. Aku duduk di meja kerjaku, layar laptop menampilkan notifikasi email yang mengharuskan aku untuk input data rekrutmen sebelum aku mengirimkan kembali kepada manager HR. tapi, ada nama Niskala disitu ya, bukan untuk melamar tapi untuk sebagai mentor kerja.
2
Setelah berhari-hari cukup rumit di tengah kesibukanku, akhirnya aku pergi ke kampus menemui pembimbingku, melewati koridor dan masuk ke ruangannya.
“Permisi, pak.” Suaraku menggema pelan.
Dosenku pak Nandang, menoleh dari balik tumpukan kertas.
“Oh, Aluna! mau ngasih berkas, kan?”
Aku tersenyum, menyerahkan laporan magangku yang belum tuntas tapi perlu revisi.
“Bagian bab ini revisi sedikit, sudah di tandai,”
“Baik, pak. saya pamit dulu.”
Suaranya biasa saja, tapi ada sesuatu dalam nada itu yang menenangkan. Mungkin karena sudah lama tidak ada yang memanggilku dengan nada penuh perhatian tanpa tuntutan.
Selesai urusan, aku keluar dari ruangan, belanjut untuk pulang. Namun, di depan tangga, langkahku berhenti. Ada seseorang yang sedang menata tumpukan kardus dan buku-buku di troli kecil, wajahnya ku kenal.
“Bastian?”
ia menoleh, kaget sebelum tersenyum.
“Luna? kesini juga. habis ngasih laporan ya?”
“Iya.”
Ia teman sekelasku yang selalu datang terlambat tapi, rajin membantu siapapun yang membutuhkan.
“Lagi, ngapain?”
“Beresin barang, mau disimpan ke gudang kampus,”
Aku menatap kardus dan buku.
“Sendirian?nggak ada yang bantuin?”
“Ini memang pekerjaan laki-laki. Berat-berat,”
“Oh…”
“Kamu mau langsung pulang?”
“Iya,”
“Tunggu aku ya, kita pulang bareng aja,”
“Boleh, kalau nggak merepotkan,”
“Tenang, aman.”
Aku tertawa kecil.
Kami berjalan berdampingan menuju tempat motornya terparkir. Bastian menaruh Sebagian barang di jok belakang dan ada helm lain.
“Kamu masih suka gambar?” tanyaku.
“Masih,” katanya sambil mengeluarkan motornya “Yuk! naik,”
Kami mengobrol sepanjang jalanan. Ia selalu hati-hati dalam mengendarai motornya.
“Kamu magang disana, dilantai berapa?”
“20…”
“Aku sering lewat kesana. tempat magang aku ga di gedung tinggi. Perkantoran biasa di ruko,”
“Iya…”
Tiba-tiba aku membicarakan sesuatu yang ada di pikiranku.
“Aku mau pindah,”
“Loh, kemana?”
“Apartemen, dekat Elsa. Besok mau beres-beres,”
“Mau aku bantu?”
“Boleh, tapi aku lagi cari-cari orang buat nganterin yang berat-berat sih.”
“Tenang, besok aku bawa mobil,”
“Oh.. terserah.”
Kami berhenti di kos an. Ia pamit langsung pulang karena harus menjemput adiknya di tempat les. Aku masuk ke kamarku, menggeletakan badanku di Kasur, menghela nafas dan tertidur.
3
Apartemen di kuningan yang menjadi tempat tinggal baruku ini tidak terlalu luas hanya dua kamar tidur dan full furnished. Dari sana aku bisa melihat-lihat gedung tinggi berbaris seperti mimpi yang terlalu ambisius.
“Apartemen ini deket tempat magang kan?” Tanya bastian.
“Iya, 6 menit.” Jawabku.
Aku membuka tirai jendela dan pintu balkon agar udara masuk. Dari ketinggian 12, kota ini terlihat papan sirkuit raksaksa, hidup tapi berisik. Bastian sibuk menyimpan barang-barangku. Bastian mengusap keringat di dahinya, aku menawarkan minum serta membuatkan makanan walaupun cuma berupa roti.
Kehidupan juga terasa lucu bila di lihat, aku mulai kehidupanku di tempat baru, aku punya teman baik, teman kerja yang baik dan bahkan aku merasa di lindungi dari rumitnya isi pikiranku.
Jam menunjukan pukul 7 malam. Bastian duduk di sofa, memandangi tumpukan novel yang belum di tata.
“Kamu masih suka baca?”