Jangan kemana-mana,ya!

Meidiana Shavira
Chapter #17

Datang dan pergi

1

Jakarta kembali menyalakan lampu kota, seolah langit ingin meniru gemerlap di mataku yang belum tenang. hari terasa panjang, aku mendapatkan kabar baik dari ibuku yang akan tinggal bersamaku disini. Aku tahu itu sudah patah tapi, lebih patah jika disatukan lagi.

Apartemen ku memang selalu kebesaran untuk aku yang tinggal sendiri tapi, tidak sekarang yang sudah ada ibu. Kini aku bisa membayangkan ibuku duduk di balkon sambil menyesap teh atau kopi kesukaannya lalu, memasak masakan kesukaanku, menunggu aku pulang kuliah atau malah ibu menjemputku. Tapi, ia masih tetap bekerja. Sebuah bayangan yang aku rindukan.

Di sisi lain, hidup tetap berjalan dengan ritme yang sibuk. aku mendapatkan kabar baik berikutnya, yakni Arga dan Tyas akan menikah. Kabar mereka membuatku senang, tapi entah kenapa terasa getir. bukan karena aku iri, tapi karena aku tahu, cinta yang sampai ke pelaminan pasti melewati luka dan seribu keberanian.

Aku belum seberani itu, belum untuk seseorang yang tak pernah berhenti mengisi pikiranku.

Nuri sore itu datang ke apartemen ku membawa kopi dan kue dengan senyum yang menenangkan.

“Gimana magangnya?”

“Capek juga ya.”

Kami tertawa, menertawakan kepenatan yang tak bisa dihindari. Nuri bercerita tentang magangnya di Kawasan Sudirman bersama Bastian, nama yang membuatku berhenti sejenak. Kehidupan kantorku pun tak jauh dari tumpukan laporan dan suara diskusi karyawan. Kadang aku juga harus merekrut, menginput data dan bahkan mengikuti arahan yang seharusnya dilakukan kepada senior.

Niskala nama yang sering kusebut, baru juga kemarin bertemu sebentar, hanya saja berbeda. Kini ia menjadi sosok yang kulihat tanpa harus ku singgahi. Ia sering lalu lalang di kantor. langkahnya tenang, pandangannya tegak, sikapnya dingim tapi, berwibawa.

Setiap kali ia lewat, beberapa orang memperhatikan. aku? pura-pura sibuk dengan laporan magang, padahal mataku sering mengikuti bayangannya. Lalu, soal Dewi yang masih sering ke kantor menunggu Niskala pulang sempat di tolak. kadang aku merasa bodoh kenapa harus mencari orang yang tidak memandangiku lagi.

2

Sudut pandang Niskala

Bagi Niskala, hidup di Jakarta bukan sekedar bekerja. Setiap pagi, ia tiba di kantor lebih awal atau bahkan pergi ke lapangan untuk melihat proyeknya. Tapi, di balik rutinitas itu, ada satu hal yang terus mengganggu pikirannya, Aluna.

Ia melihatnya beberapa kali di lobby, di lift, di ruang rapat kecil. Aluna di mata Niskala waktu itu tampak dewasa dari sebelumnya, tampak tenang hingga membuatnya bingung. di masa lalu, Aluna gadis yang selalu berisik, cerewet dan tidak bisa menyembunyikan perasaan. Sudah berapa tahun lamanya tidak bertemu dengan sosok yang di kagumi. Dunia terlalu sempit untuk seorang Niskala. dalam pikirannya, Niskala sering menulis kalimat-kalimat pendek yang tak pernah ia kirimkan. Semuanya tentang Aluna, tentang keheningan, tentang kedamaian, tentang kenangan yang membuatnya merasa bersalah meninggalkan orang tanpa pamit.

Ia tahu Dewi menyukainya. tapi, setiap kali Dewi berbicara tentang masa depan, tentang hubungan yang serius, pikirannya justru melayang ke masa lalu ke saat bertemu Aluna, membawa Aluna bertemu ibunya, ke saat memberikan novel-novel tanpa ragu.

Suatu malam, Niskala duduk di ruangan sendirian. Hujan deras di luar, lampu kota terlihat buram di balik kaca. Ia memejamkan mata, mengingat aroma bunga yang samar. Aroma yang dulu melekat pada aluna. aroma yang beberapa kali ia temui lagi belakangan ini, entah di lift, entah di lorong kantor.

“Apa ia ada disini?” Gumamnya.

Ada rindu yang ingin kabur, tapi setiap hari datang lagi. ada jarak yang ingin pertahankan tapi, setiap langkah justru mengarah pada tempat yang sama.

Ia juga pernah menayakan informasi terkait anak-anak magang di kantornya. Bahkan memang ada nama Aluna disitu. Ia tampak terkejut, senang dan sedih. Niskala sempat ingin menemui Aluna pada saat di area foodcourt tetapi, niat itu ia urungkan, ia malah jadi lebih sering bekerja di lapangan daripada di kantor sejak itu.

3

-         Kembali ke Aluna –

Beberapa malam kemudian, aku menatap langit dari balkon apartemen. Ibu baru saja tidur. Kopi di tanganku mulai dingin dan di layar ponselku , nama Niskala muncul di daftar kontak, nomor yang sudah lama tidak aktif. Aku menatapnya lama, ingin menghapus tapi, ada bisikan yang membuatku tidak jadi menghapusnya. Kadang diam adalah cara terbaik untuk melupakan. Aku tidak menyesal pernah menunggu, hanya menyesal karena tidak berani jujur. Sudah 6 bulan lamanya aku melibatkan hidupku pada pekerjaan dan laporan di hari terakhir magang yang begitu datang lebih cepat dari apa yang ku kira. Kantor terasa berbeda hari itu lebih ramai, tapi juga lebih hening dari diriku. Ada rasa lega karena akhirnya selesai.

Tiffany yang beberapa lama ini jarang sekali mengobrol denganku karena sudah berbeda divisi dan beralih ke kantor Arga, kini bertemu denganku sebelum pulang.

Lihat selengkapnya