Jangan kemana-mana,ya!

Meidiana Shavira
Chapter #18

Dengan Niskala

1

Pagi itu di kampus terasa jauh lebih riuh dari biasanya. Panitia sibuk menyiapkan banner, meja registrasi dan bunga-bunga segar di dekat pintu galeri. Acara besar hari ini pertemuan dengan arsitek muda sekaligus pameran Teknik dari berbagai universitas yang di selenggarakan di kampusku. Aku sebagai MC yang di pilih merasa lucu, mengingat aku bukan mahasiswa arsitektur ataupun Teknik. Aku hanya mahasiswi psikolog yang kadang terjebak dalam hal-hal di luar nalar, termasuk acara ini.

“Luna, selain lo jadi penyiar, lo juga harus jadi MC, suara lo bagus dan cara bikin suasana jadi ramai juga bagus,” Kata Nuri waktu rapat panitia.

“Tapi, gue nggak ngerti bangunan,”

“Ada script nya kok dan juga lo bisa bawa kesan sopan,”

“Kesan sopan gimana?”

“Lo bisa improvisasi.”

Dan begitulah akhirnya aku berdiri di tengah acara besar yang di kelilingi panel pameran. Namun, semua keasingan itu tiba-tiba menjadi akrab saat aku membaca daftar tamu undangan. nama pertama yang membuatku berhenti sejenak. Niskala dan ada juga nama Arga serta 3 tamu lainnya yang berbeda tempat. Dadaku langsung terasa seperti di sesaki udara dingin.

Beberapa menit sebelum acara di mulai, Arga datang lebih dulu penampilannya masih sama, rapi dan elegan dengan senyum sopan seperti biasa. Aku menyapanya pelan.

“Arga,”

“Luna? wah, nggak nyangka ketemu disini,”

“Iya, kampusku di sini,”

“Keren, baru tau kamu dari sini,”

“Haha.. iya.”

Aku tersenyum mencoba terlihat santai. Kami sempat mengobrol sebentar tentang acara, tentang Tyas dan tentang kabar di kantor. semua berjalan normal sampai Niskala datang. Ia muncul di antara kerumunan, tatapannya tenang seperti biasa, tapi aku tahu di balik ketenangan itu ada sesuatu yang masih belum selesai.

Dari jauh, ia menatapku. Bukan lama, hanya cukup untuk membuat jantungku kehilangan ritme sesaat. Lalu, ia memberi isyarat kecil, senyum samar seolah berkata aku disini.

Aku membalasnya dengan ekspresi paling netral. Tidak ingin terlihat terlalu peduli, tapi juga tidak ingin pura-pura tidak kenal. sebuah pertemuan terlalu singkat, tapi terlalu dalam untuk di abaikan.

2

Acara berlangsung lancar. Aku memandu sesi demi sesi, memperkenalkan para pembicara, membacakan profil tamu, sesekali melontarkan candaan ringan agar tetap terjaga. Tapi, di sela-sela tugas itu mataku mencari Niskala. ia duduk di deretan tengah, berdiskusi dengan panitia, lalu pindah ke meja display karya.beberapa mahasiswi tampak mendekatinya, memuji hasil karyanya atau sekedar ingin berkenalan.

Aku melihat bagaimana ia menanggapi mereka, ramah namun tetap dingin. Namun entah kenapa, salah satu dari mereka tertawa terlalu keras di dekatnya. Langkahku otomatis menghampiri.

“Mas Niskala, waktunya sesi panel, dua menit lagi,” kataku datar padahal bukan panitia. Aku menyebutkannya agar terlihat professional dan sopan.

Ia menatapku agak heran, tapi kemudian tersenyum kecil.

“Oh,iya terima kasih.”

Aku berjalan pergi tanpa menoleh, pura-pura sibuk memegang clipboard, padahal tidak menulis apapun. Nuri dan Bastian terlihat memperhatikan dari jauh. Seolah paham siapa ia bagiku.

Setelah acara selesai, aku sedang membereskan kertas dan mikrofon ketika Niskala berjalan mendekat.

“Kamu sibuk banget hari ini,” katanya. “boleh ngobrol sebentar?”

“Besok aja ya,”

Ia terdiam sebentar, lalu mengangguk pelan.

“Oke.”

itu saja tanpa penjelasan dan tanpa usaha menahan. Aku pun pergi bukan karena tidak ingin bicara tapi, karena takut jika bicara, aku akan kembali dititik runtuh.

3

Besoknya aku pergi ke tempat magangku dulu, bukan untuk nostalgia melainkan harus menyerahkan beberapa dokumen administrasi. Tubuhku sedang tidak sehat tapi, aku tetap memaksakan diri.

Lift berhenti di lantai 20. Langkahku agak goyah saat keluar, tapi aku berusaha menahan diri agar tidak tampak lemah. Saat aku menandatangani berkas di meja resepsionis, pandanganku berkunang-kunang.

“Aluna?”

Suara itu, lagi-lagi, aku tak perlu menoleh itu siapa.

Niskala berjalan mendekat, wajahnya berubah panik saat melihat aku kehilangan keseimbangan. Aku sempat berusaha berdiri tegak, tapi tubuhku tidak kuat.

“Lun…”

Ia sigap menangkapku sebelum aku benar-benar jatuh. Tangannya dingin tapi kuat, menahan tubuhku agar tidak terhempas. Aku bisa mencium aroma parfum yang dulu pernah menenangkan sekaligus menyakitkan.

“Kamu sakit?”

Aku mencoba menjawab tapi suaraku yang keluar hanya lirih. “Cuma pusing,”

“Kamu jangan maksain,”

“Aku cuma mau antar berkas,”

“Biar aku yang urus, kamu duduk dulu.”

Ia menuntunku ke kursi ruang tunggu, memberiku minum dan duduk di sebelahku. untuk pertama kalinya setelah sekian lama, jarak antara kami kembali rapuh. Tidak ada kalimat panjang dan tidak ada penjelasan.

Aku menatap ke lantai, menahan detak jantung yang terasa terlalu keras.

“Kamu masih sama keras kepala-nya,” Katanya tiba-tiba.

“Kamu juga masih sama dingin-nya.” Balasku tanpa menoleh

Ia tertawa pelan, bukan karena lucu. tapi, karena tahu sekeras apapun kami berusaha menjadi asing, waktu selalu menemukan cara untuk mempertemukan kembali.

4

Ruangan kantor sore itu mulai sepi. Beberapa staff sudah beranjak pulang. Aku masih duduk di ruang tunggu memegang gelas air mineral yang tadi diberi Niskala.

Ia berdiri di dekatku, sedikit canggung tapi tetap terlihat tenang seperti seseorang yang harus menjaga jarak.

“Udah mendingan?” Tanyanya.

“Lumayan,” Jawabku.

“Kamu seharusnya ngga maksain kesini kalau emang lagi sakit,”

“Aku cuma ngasih berkas, nggak sampai 10 menit,”

“Tapi, tetep aja jangan maksain. Kalau tadi kamu pingsan gimana?”

“Untung kamu ada.” Kataku setengah bercanda.

Niskala tersenyum kecil, tapi belum sempat membalas, suara langkah mendekat. Tiga mahasiswi yang sepertinya dari kampusku datang sambil membawa map tebal dan wajah antusias.

“Permisi kak, ini benar dengan kak Niskala?kami dari jurusan Teknik sipil dan arsitektur, mau konsultasi soal proyek kemarin,” Kata salah satunya.

Aku menatap mereka sejenak, lalu ke arah Niskala. ia tersenyum ramah, matanya bebinar seperti menemukan topik yang disukai.

“Oh,iya pameran kampus ya. padahal besok juga saya masih ada disana. Kalian dari kampus sana semua?”

“Ada yang bukan. tapi kita gabung sama tim dari Univ Pelita karya.” katanya dengan memastikan dan menatapku “Eh, kak Luna, disini juga ya?”

“Iya, kebetulan aku cuma antar berkas.” Jawabku cepat.

Mereka tertawa kecil, suasana menjadi ringan.

Aku mentap interaksi itu dengan perasaan yang tak bisa ku jelaskan. Cemburu, mungkin. Tapi juga tidak. aku tidak punya alasan untuk cemburu. Aku bangkit, merapikan tas.

“Aku pulang dulu, ya,”

“Kamu pulang sendirian? Aku anter aja,”

“Iya, aku naik bus aja,”

“Oke, hati-hati ya.”

Hanya itu. ia kembali kepada mahasiswi itu sementara aku melangkah pergi dengan langkah pelan, menelan sisa-sisa rasa yang masih ada dalam diriku.

5

Malamnya di apartemen, ibu belum pulang dari pekerjaanya. Aku rebahkan tubuhku di sofa, menatap langit-langit putih. Bayangan tadi sore masih menempel di kepala. Aku mencoba berpikir dengan normal, mungkin aku hanya lelah dengan perasaanku.

Keesokan harinya, hari kedua dan hari terakhir pameran. Aku kembali sibuk dengan datang kepagian, lebih pagi dari panitia lain. hari ini lebih banyak tamu professional yang datang, termasuk beberapa arsitek dari luar kota termasuk Bandung dan tentu saja Niskala tetap hadir sebagai narasumber.

Saat dimulai, suasansa begitu hidup. Aku memandu acara dengan suara bergetar tapi berusaha terdengar tegas dan saat sesi diskusi dimulai, aku harus memperkenalkan nama yang sudah lama tak berani ku sebut di depan banyak orang.

“Selanjutnya, mari kita sambut kak Niskala selaku arsitek muda dan narasumber kita …”

Suara tepuk tangan menggema di ruangan. Aku menatap naskah di tanganku, pura-pura tidak melihat ketika sosok itu berjalan naik ke panggung dengan senyum professional. tapi, mata kami sempat bertemu, sekilas. Cukup untuk membuat ingatan itu kembali.

Setelah sesi wawancara dan presentasi, aku harus menemali panelis termasuk Niskala di area pameran. Beberapa mahasiswa berdiskusi, menanyakan konsep bangunan, filosofi desain, dan Niskala menjawab dengan tenang dan detail. Sementara aku sebagai MC bertugas menjaga suasana agar tetap interaktif.

“Kalau boleh tahu, kak Niskala, inspirasi desain yang paling kuat dari proyek terakhir itu apa, sih?” Tanyaku sambil tersenyum.

“Kalau dari sisi pribadi” jawabnya, menatapku singkat “Kadang inspirasi datang dari seseorang yang nggak pernah benar-benar pergi,”

Semua orang tertawa kecil, mengira itu hanya improvisasi romantis biasa. tapi, aku tahu kalimat itu bukan untuk mereka.

Aku menelan ludah, mencoba tetap tenang.

“Wah, menarik ya, teman-teman. jadi, inspirasi bisa datang dari siapa saja, bahkan dari ketenangan,”

“Betul.” jawabnya ringan

Tapi matanya masih menatapku dengan cara yang tidak bisa di artikan. Sesi berlanjut, aku tetap menjalankan peranku sampai acara benar-benar selesai.

Malam itu, setelah acara selesai, aku berjalan sendiri ke arah pulang. Langit gelap dan udara Jakarta terasa lembap. Aku bertemu Bastian yang menawarkan tumpangan, aku tidak menolak dan tetap melanjutkan perjalanan pulang bersama, aku lelah ingin langsung tidur setelah pulang.

6

Besoknya saat sore hari, aku dan ibu pergi ke restoran untuk makan. sore itu harusnya menjadi makan malam sederhana bersama ibu, merayakan minggu pertama beliau bekerja di Jakarta dan tinggal bersamaku. Kami memilih tempat yang tenang, aku belum tahu ternyata justru sore ini adalah sore yang membuat isi kepalaku lebih berisik dari sebelumnya.

“Lun, kayaknya ibu pernah lihat deh, orang yang disana.”Suara ibu pelan, matanya melirik ke arah meja sebrang.

Aku menoleh, seketika nafasku tercekat.

Disana ibu Niskala duduk dengan anggun di tengah keluarga. Beliau tampak lebih fresh walaupun sudah berumur, senyumnya sama seperti dulu. di sampingnya ada Winda dan beberapa orang yang sepertinya keluarga besar mereka.

Dunia ini kecil memang atau mungkin takdir suka bermain-main dengan waktu dan tempat, mempertemukan orang-orang yang belum selesai dengan kisahnya.

Tak lama, ibu Niskala berdiri dari mejanya dan berjalan ke arah kami. Langkahnya mantap, seperti seseorang yang yakin pada niatnya.

“Aluna?” sapanya lembut

“Iya, tante,”jawabku gugup. Setengah bangkit dari kursi.

“Wah, udah lama nggak ketemu ya. kemarin terakhir ketemu di pameran, tante hampir nggak kenal. ini ibu?”

“Iya, tante, ini bu, ibunya Niskala.”

Mereka saling bersalaman, lalu duduk sejenak. Obrolan mengalir ringan, tentang karir, pekerjaan, tentang aku yang kuliah dan sempat magang di tempat Niskala yang ternyata Niskala juga sering cerita kepada ibunya kalau aku magang di tempatnya. Aku berusaha tersenyum, padahal dadaku sudah terasa sesak sejak detik pertama beliau duduk.

“Niskala belum datang ya, tante?”

“Oh,iya dia masih di jalan sama teman katanya.”

Namanya disebut saja sudah cukup membuat hatiku bergetar. Aku menunduk, menatap piring kosong di depanku. Lalu, seperti dalam film yang sudah kutebak akhirnya, ibunya pamit kembali ke mejanya dan Niskala muncul.

Kaos polo putih, celana pendek krem, tapi tetap tampan dengan aura dingin yang dulu membuatku tenang. ia lebih tampan seperti artis lawas tahun 90an pada saat itu. mungkin jika beliau jadi artis pun aku akan mengidolakannya lebih dulu. tapi, kehadirannya membuatku membeku, di sampingnya berjalan seorang perempuan. itu Dewi.

Perempuan yang pernah kutemui di lobby. Mereka menghampiri meja yang dikelilingi keluarga besarnya tepat di seberangku. Niskala tiba-tiba menoleh ke arahku dan tersenyum seperti sudah di beri tahu kalau aku juga ada bersama mereka dengan tidak sengaja. 

Beberapa menit setelah itu, aku izin ke toilet untuk cuci tangan. Ibu hanya mengangguk biasa lalu, melanjutkan makannya. Kepalaku terlalu penuh dan nafas terasa berat. Aku berjalan melewati meja mereka, pura-pura tak melihat, padahal mataku sempat menangkap pandangan Niskala yang menuruti langkahku.

Lihat selengkapnya