Jangan kemana-mana,ya!

Meidiana Shavira
Chapter #19

Pertemuan lagi

1

Pagi itu aku bangun dengan perasaan lega. Ibu sudah berangkat lebih dulu untuk rapat dan pelantikan meninggalkan pesan di meja makan. “jangan lupa makan dulu.”

Aku menatap catatan kecil itu sambil tersenyum. Sesederhana itu bentuk perhatian yang sekarang kuanggap paling berarti.

Karena kelas baru dimulai jam 1 siang, aku memutuskan untuk mampir dulu ke tempat Elsa. Akhir-akhir ini ia lebih sering ku temani ke mana pun. Kita hanya sekedar menonton film lewat kaset, mengobrol tentang percintaan, tentang kampus dan tentang buku yang ia suka.  

Setelah mengunci apartemen, aku pergi menggunakan busway. Karena letaknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalku dan rasanya nyaman sekali. saat aku sampai di lobby, wajah yang ku kenal sedang berbicara dengan resepsionis. Beliau tampak elegan lalu menoleh dan menatapku. Seketika wajahnya cerah.

Ibu Niskala.

“Aluna?”

Aku kaget tapi segera tersenyum. “Iya, tante,”

“Wah, kebetulan sekali. mau kemana?”

“Ke tempat teman,”

Kami akhirnya duduk di sofa lobby. Beliau seperti biasa, hangat dan ramah, membuatku lupa sejenak pada segala canggung yang sempat ada. Kami berbicara tentang pekerjaan ibu, tentang Jakarta yang semakin padat, sampai tiba-tiba percakapan mengarah ke arah yang tak kusangka.

“Tante sering denger kamu itu aktif ya di kampus? Niskala juga sering cerita waktu kamu SMA juga kamu anaknya rajin. nggak salah masuk sekolah favorit,”

Aku tertawa kecil. “Dia cerita apa aja?”

“Banyak kok. katanya kamu pernah ikut cerdas cermat, nulis buku, ikut kegiatan sosial lain dan banyak sih,”

Ada senyum samar di wajahnya. Aku hanya menunduk, memainkan jemariku, dalam hati ada sesuatu yang ingin ku tanyakan tapi, kutahan. tapi, akhirnya aku memberanikan diri.

“Tapi, dia sama Dewi?”

Beliau sempat terdiam. Matanya memandangku lama sebelum akhirnya tersenyum.

“Dewi bukan siapa-siapa. dia bahkan belum pernah dibawa Niskala ke rumah,”

Jawaban itu seperti menampar tapi dengan lembut. Ada sesuatu di dadaku yang hangat tapi juga getir. Aku menunduk.

“Kamu itu anak baik, nggak nyangka kita ketemu lagi,”

Aku tersenyum kecil. “Makasih, tante,”

Sebelum akhirnya beliau pamit, ia mengeluarkan undangan. “Oh, untung tante bawa. Tante berharap kamu datang. Ada syukuran kecil di rumah baru tante di Jakarta timur,”

Aku terkejut. “Wah, makasih banyak tante. tapi, aku nggak janji,”

“Enggak apa-apa yang penting tante udah kasih undangan buat kamu. syukur-syukur kamu hadir,”

“Makasih tante,”

“Kamu baik-baik ya.”

Aku tersenyum.

Kata-kata itu menggema lama di kepalaku bahkan setelah beliau berpamitan. Aku langsung naik lift menuju kamar Elsa.

2

Apartemen Elsa tidak terlalu besar tapi cukup. aku duduk di sofa dekat jendela memandangi langit Jakarta yang mulai ditutupi awan kelabu. Elsa duduk di seberang, rambutnya di kuncir seadanya, mengenakan hoodie dan celana panjang. ia menatapku lama sebelum akhirnya bicara.

“Lo kayak capek banget, Na,”

Aku tersenyum kecil. “Enggak kok, biasa aja,”

Kami terdiam beberapa detik, hanya terdengar suara lagu. Elsa lalu mencodongkan tubuhnya, menatapku dengan tatapan serius.

“Masih mikirin Niskala?”

Aku tersenyum, tapi bukan tersenyum Bahagia. Lebih secara halus untuk menutupi luka.

“Mikirin gimana caranya gue lupain dia?”

“Kayaknya semesta suka iseng,ya,”

Aku tertawa kecil. “Kayaknya semesta lebih suka bercanda sama orang yang lagi pengen tenang.”

Obrolan kami beralih ke masa lalu. aku bercerita dikit tentang keluargaku, tentang ayah, tentang ibu yang berusaha baik-baik saja tapi sebenarnya mereka renggang sejak lama. Tentang malam-malam yang diisi suara pintu di banting, tentang pagi yang penuh diam.

Elsa mendengarkan tanpa menyela, hanya sesekali mengangguk. Lalu, ia bercerita.

“Gue juga hidup sendirian. Orangtua gue pindah ke Cirebon. Gue kerja part time buat memenuhi kebutuhan gue, buat bayar apartemen, buat bayar kuliah yang juga setengahnya gue dapet dari mereka. malah gue betah sendiri jadi nggak harus terus nurut sama keinginan orangtua,”

Kami tertawa kecil bersama. Ada rasa lega saat tahu bahwa ternyata setiap orang memang punya luka masing-masing.

Siangnya kami berangkat bersama ke kampus. jalanan macet, tapi suasana terasa tenang. hari di kampus berjalan seperti biasa. ada tugas, presentasi dan tumpukan kertas yang menunggu di meja studio. Waktu berjalan cepat hingga matahari mulai tenggelam. Jam menunjukan pukul 7 malam ketika aku dan bastian keluar dari studio.

Bastian menawarkan tumpangan pulang. “Udah malem, mending lo, gue anterin,”

Lihat selengkapnya