1
Tiga minggu setelah desas-desus dan drama panjang. akhirnya hari itu tiba. hari tasyakuran rumah baru Niskala. hal yang sempat kupikir tak akan pernah kudatangi, tapi entah kenapa langkahku menyuruhku kesana. Aku mengenakan dress panjang bermotif bunga-bunga kecil dengan warna pastel yang kupilih tanpa alasan. Ibuku tak bisa ikut karena ada reuni dengan teman lamanya. Jadi, aku berangkat sendiri dengan busway.
Perjalanan terasa sunyi. Di luar jendela, kota terlihat sibuk seperti biasa dan gedung-gedung tinggi yang seolah mengintip kehidupan orang lain dari kejauhan. aku tidak tahu kenapa aku datang. mungkin karena rasa sungkan pada ibunya yang sempat mengundangku dengan tulus atau mungkin masih ada bagian kecil dalam diriku yang ingin memastikan, bahwa aku benar-benar bisa berdiri di hadapannya tanpa goyah lagi.
Sesampainya di rumah itu, suasana sudah ramai. Aroma makanan khas acara keluarga tercium sejak aku menapaki teras. Di dalam, orang-orang saling menyapa, bercengkrama hangat. aku melihat ibunya Niskala berdiri di dekat ruang tamu, wajahnya ramah seperti biasa.
“Aluna, akhirnya kamu datang. terima kasih,” ucapnya sambil menggenggam erat tanganku seperti ada harapan atau memang caranya begitu.
Aku tersenyum kecil. “Iya, tante sama-sama. selamat untuk rumah barunya.”
“Terima kasih, duduk ya, acara sebentar lagi mulai.”
Aku duduk lesehan bersama beberapa tamu lain. suara do’a dan lantunan ayat suci terdengar dari pengeras suara kecil di pojok ruangan. Setelah acara puncak, kami dipersilakan makan bersama. Aku memilih duduk di kursi luar, di teras samping, agar bisa menghirup udara. Semuanya terasa normal, sampai seseorang menarik kursi di sampingku.
Aku tidak perlu menoleh untuk tahu itu siapa. wangi parfum yang biasa ku temui. Niskala duduk di sebelahku tanpa permisi. Suasana seketika kaku.
“Ngapain kamu kesini? Harusnya nggak usah ke sini,” Suaranya datar tapi menusuk. “kamu nggak pantas ada di rumahku,”
“Aku di undang ibumu,”
“Belum mau pulang?”
Aku menghela napas. Tidak ingin menjawab.
Aku tahu ia masih marah, masih menumpuk luka yang tak pernah kami bicarakan. Tapi di tengah semua ketegangan itu, aku hanya merasa lelah. Aku datang hanya untuk menghormati, tapi ternyata di matanya aku tetap saja luka.
“Maaf, aku pamit,” Ucapku lirih.
Aku berdiri. Menunduk sedikit pada ibunya yang masih sibuk menyapa tamu, lalu melangkah keluar. Tidak ada yang menahanku. Tidak ada yang peduli.
Aku naik busway lalu, berpindah ke kereta. Dari jendela aku lihat bayangan kota yang melintas cepat, seolah semuanya ingin meninggalkanku.
Sampai di apartemen, aku melepas sepatu, mengganti dress ku lalu, tiduran di sofa. Aku menatap langit-langit putih yang diam dan entah sejak kapan, air mataku menetes. Aku tertidur dalam keadaan itu, antara lelah dan pasrah.
2
Sekitar pukul lima sore, Bastian menelponku.
“Luna, jalan bentar yuk, muter-muter sekalian cari makan malam.”
Aku sempat ragu, tapi aku piker tidak ada salahnya keluar sebentar. setelah kejadian tadi siang, aku butuh udara.
Tak lama kemudian, aku keluar dari lobby apartemen. Motor Ninja hitam milik Bastian tiba.
“Ayo, naik!” katanya sambil tersenyum kecil.
Aku menatap motor itu canggung. “Aku nggak bisa naik motor besar kayak gini, bas.”
“Tenang aja. Pelan kok,”
Tapi ternyata tidak. sore itu jalanan lengang dan ia menyetir motornya cepat sekali. angin menampar wajahku, helm hampir terlepas dan aku berteriak kecil.
“Bas, jangan ngebut!”
Tapi, ia tak mendengar. Semuanya terasa berputar cepat. Seperti dunia menolak melambat.
Lalu, suara klakson keras, cahaya lampu mobil dari arah berlawanan dan satu benturan besar.
Tubuhku terlempar jauh. Dunia tiba-tiba sunyi. Aku hanya mendengar suara-suara samar, teriakan orang-orang, rem mobil, sirine yang memecah malam. Tubuhku dingin, darah terasa hangat di pipi, kepalaku bahkan mungkin dari telingaku.
Aku tidak bisa membuka mataku, tapi aku tahu aku sedang dibawa ke rumah sakit. Ada suara yang memanggilku. Suara ibu yang pecah menangis, suara ayah yang seperti memarahi ibu atau mungkin menenangkannya, suara petugas medis yang menyebut namaku sambil memeriksa seluruh tubuhku serta nadi.
Aku tidak tahu kenapa ada ayah disana. Aku bahkan tidak tahu apakah aku sedang bermimpi atau benar-benar masih hidup.
2
Saat di ruang gawat darurat, tubuhku gemetar. Dokter berkata pelan di telinga perawat, aku hanya mendengar sedikit dan aku harus segera CT scan karena kepalaku cedera berat dan bahkan juga aku membutuhkan banyak darah.
Setelah itu semuanya gelap. Aku hanya bisa mendengar. Seolah hidupku berubah jadi hitam dan putih dalam ruangan sunyi. Aku mendengar langkah kaki ibu, isakannya di sudut kamar, suara monitor berbunyi pelan dan membuat merinding bila dinyatakan tiada.
Aku mendengar ibu menyesal membolehkanku pergi waktu itu. mungkin jika ibu melarang juga aku masih ada, tiduran di sofa, makan mie instan atau sekedar duduk di balkon sambil melihat gedung-gedung tinggi. Aku ingin bangun dan bilang kalau aku baik-baik saja. Tapi tubuhku diam, seolah terkurung di antara mimpi dan kenyataan.
Dalam tidur panjang itu, aku memikirkan kampusku, tugasku, sahabatku yang mungkin mencariku, juga Bastian yang entah bagaimana keadaanya. Tapi satu-satunya nama yang tidak ingin kusentuh dalam pikiran adalah Niskala.
Aku pikir sudah cukup luka yang di tanggungnya.
Tapi di sela-sela suara mesin dan perawat, aku mendengar sesuatu yang samar, berat seperti seseorang berbicara di balik kaca.
“Aluna…”