1
Sudah berbulan-bulan, berlalu sejak hari terakhir aku melihat Niskala di rumah sakit. Sejak surat itu, tidak ada lagi pesanm tidak ada lagi kabar. Bandung dan Jakarta seolah memisahkan kami dengan jarak yang bukan hanya geografis, tapi juga emosional. Aku sudah sembuh, luka di tubuhku tertutup, bekas sayatan waktu perlahan memudar, tapi bekas di hati masih sama terasa setiap kali aku merasa jenuh.
Sekarang aku sudah hampir naik ke semester tujuh. Hidupku penuh dengan aktivitas yang tak pernah berhenti. Menyusun skripsi, bimbingan dosen, menulis jurnal, menata data wawancara, mengikuti kegiatan sosialisasi. Tapi di tengah tumpukan draft dan deadline itu, aku masih punya satu kegiatan yang membuat hidupku lebih berarti. Ya, kegiatan di panti asuhan daerah Bogor yang di kelilingi kebun teh, rasanya sejuk.
Awalnya aku berniat datang seminggu sekali. tapi sejak pertama kali menginjakkan kaki di panti itu, aku merasa seperti menemukan bagian lain dari diriku yang hilang. Anak-anak di sana punya mata yang berkilau dengan semangat yang tidak pernah pudar, meski dunia tidak memperlakukan dengan baik.
“Bu, kak Aluna datang!” seru salah satu anak laki-laki setiap kali aku melangkah masuk ke halaman. Aku tersenyum, menatap mereka berlari ke arahku.
Hari-hari disana terlalu sibuk. pagi belajar bersama, siang bermain, sore membaca dongeng, malam istirahat atau terkadang mendengarkan anak-anak bercerita. Ada satu anak yang dekat denganku namanya Chintya, usianya baru tujuh tahun, kulitnya bersih, rambutnya cokelat blonde seperti orang luar negeri, matanya bulat dan cantik. Tapi di balik keceriaan itu, aku tahu ada kehilangan besar yang ia sembunyikan. Ia sering menggenggam ujung bajuku tiap kali aku akan pulang.
“Kenapa?” tanyaku suatu sore, saat aku duduk di taman belakang panti. Ia menatapku, matanya berkaca-kaca. “Aku mimpi, kak Luna pulang terus enggak ke sini lagi.”
Aku terdiam, lalu memeluknya. “Jangan takut, aku bakal lebih sering main ke sini , ketemu kamu, liat kamu tumbuh dewasa.”
Wajahnya langsung bersinar, “Janji?”
Aku mengangguk. “Janji.”
2
Sejak saat itu, Chintya seperti bayangan kecilku. Ia suka duduk di sampingku saat aku menulis laporan untuk panti, suka bercerita tentang teman-temannya bahkan suka membantu membagikan makanan untuk anak-anak panti. Anak tujuh tahun ini seperti sudah dewasa, ia bahkan lebih terlihat sopan dan manis. jarang sekali aku melihat anak seumuran dia sudah punya sikap seperti itu.
Kadang aku berpikir untuk membawanya pulang ke apartemen, menjadikannya adik angkat, memberi ruang kecil di apartemen agar ia bisa merasa dicintai lagi. tapi ibu menolak.
“Jangan aneh-aneh, ngurus anak kecil itu enggak gampang, ibu juga sibuk siapa yang ngurus nanti kalau disini.” Katanya waktu itu,.
Hari-hari berjalan lebih cepat. Udara bogor yang dingin dan sejuk, suara jangkrik malam hari, semua seperti terapi bagi jiwaku yang dulu sempat lelah. Kadang, di tengah suara tawa anak-anak, aku duduk di halaman depan membaca novel yang aku bawa pemberian Niskala yang masih terdapat surat kecil di halaman tengah buku itu. diselipkan agar tidak lupa.
Aku tidak tahu kenapa masih menyimpannya. Mungkin karena Sebagian diriku belum pernah hilang atau mengajarkanku tentang sebuah arti kehilangan. Cukup aku kenang tanpa harus aku miliki.
3
Aku belajar banyak hal yang bahkan tidak pernah aku pelajari di kelasku. Setiap anak di panti seperti cermin dari masa laluku yang retak, tapi juga seperti cahaya yang menyinariku, menyadarkanku dalam segala hal tentang cinta, empati, rasa kehilangan, rasa kasih sayang.
Sudah dua minggu aku disini, hidup dalam rutinitas ketenangan. Setiap pagi aku membantu pengurus panti, lalu kembali berdiskusi dengan anak-anak dan rekan volunteer yang berbeda kampus. sore itu, aku duduk di depan panti bersama teman-temanku, Dimas, Sinta dan Eri. Kami bercanda ringan sambil minum kopi.
Tiba-tiba suara mesin mobil berhenti di depan pagar. Sebuah mobil hitam metalik dengan plat Bandung perlahan masuk ke area parkir. Dari kejauhan aku melihat beberapa orang turun. Satu membuka bagasi, dua lainnya mengangkat dus besar kemungkinan itu makanan dan satu lainnya berjalan menuju ruang administrasi. Aku menatap kea rah mobil itu, tapi kemudian suara Chintya memanggilku. “Kak Luna! kita main yuk di belakang.” Aku mengiyakan ajakannya dan mengikuti kemana ia mengajakku.
Saat aku di dalam, suasana panti mendadak ramai. Suara tawa anak-anak bercampur dengan obrolan ringan dari para tamu yang datang. aku sempat melihat sekilas dari jendela belakang, dua orang membagikan bingkisan, satu perempuan mendokumentasikan dan satu pria berdiri di dekat meja administrasi. Entah kenapa dari jarak jauh itu, suara rendahnya seperti tidak asing. Nada bicaranya, intonasinya, cara ia ketawa semuanya terlalu familiar. jantungku berdegup aneh. Tapi aku mengabaikan, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya kebetulan, bahwa aku terlalu sensitif terhadap kenangan yang belum sembuh.
Sekitar sejam kemudian ruangan mulai sepi, mereka sudah pulang, aku membantu ibu pengurus menata berkas donasi di ruang administrasi. Di atas meja ada buku daftar tamu yang baru saja di tandatangani. Nama-nama tertulis rapi dengan tinta hitam, asal instansi, kota asal dan mataku sekedar menyapu baris-baris itu tanpa niat mencari apapun sampai akhirnya berhenti pada satu nama yang membuat napasku tercekat. Niskala.
Tanganku refleks bergetar memegang buku itu. dunia seolah berhenti sesaat, udara terasa menipis.
Jadi benar suara yang tadi ku dengar, tawa yang membuatku ingin berbalik, itu memang dia.
Aku menarik napas panjang, menenangkan diri. Entah apa yang harus aku rasakan. Marah, kaget atau sedih. perasaan hangat yang muncul tiba-tiba seperti ada seseorang dari masa lalu yang masih diam-diam menjaga dari jauh.
Aku berjalan keluar, mobil itu sudah tidak ada, hanya menyisakan jejak ban di tanah basah dan aroma bensin yang samar. Aku menyadari bahwa kisahku dengan Niskala belum sepenuhnya selesai, hanya tertunda oleh waktu dan takdir yang diam-diam mempertemukan kembali dalam bentuk sederhana walaupun kadang meleset.
4
Lusa aku harus kembali ke Jakarta untuk bimbingan skripsi. Rasanya aneh meninggalkan panti setelah berminggu-minggu menjadi bagian dari kehidupan di sana. Anak-anak berlarian di halaman sambil memeluk kakiku, beberapa menulis surat kecil dengan kertas bergaris dan Chintya anak kecil yang paling dekat denganku berdiri di depan pagar sambil menggenggam boneka lusuh yang selalu ia bawa kemana-mana.
“Kak Luna, aku boleh ikut ke Jakarta?” suaranya lirih, matanya penuh harap.
Aku terdiam sejenak, menatap wajah polosnya yang tidak ingin ditinggal. Sebelum sempat menjawab, ibu panti datang tersenyum.
“Boleh, kak Luna. bawa aja Chintya beberapa hari kalau tidak merepotkan dan asal jangan di culik ya,” katanya bercanda, membuat suasana cair.
Kami tertawa, padahal aku hanya dua hari di Jakarta. Aku tahu anak kecil itu tidak punya siapa-siapa lagi selain teman-teman pantinya.
5
Perjalanan ke Jakarta terasa tenang. Chintya duduk di sampingku di kursi bus, menatap jendela sambil menghitung kendaraan lewat. Setiap kali bus berhenti di lampu merah, ia bertanya, “Jakarta ramai ya, kak?”
Aku mengangguk pelan, “Ramai kalau kamu tidak sendirian.”
Ia menatapku, lalu tersenyum seperti mengerti sesuatu yang bahkan belum bisa dijelaskan dengan kata.
Sampai di apartmen, ibu sudah menunggu di depan pintu. Begitu melihat Chintya, ekspresi wajahnya langsung berubah. bukan marah, bukan juga senang.
“Siapa ini?” tanyanya dengan nada datar tapi lembut.
“Chintya, Bu. aku sering ceritain, nanti juga balik lagi,” jawabku hati-hati.
Ibu menatap Chintya cukup lama sebelum akhirnya tersenyum tipis.