Jangan kemana-mana,ya!

Meidiana Shavira
Chapter #22

Rumah Baru

1

Kegiatan Volunteer di panti asuhan itu resmi berakhir sore itu. suasana penuh haru, ramai, tapi juga menyesakkan dada. Anak-anak berlarian di halaman panti dengan wajah ceria tapi, ada air mata yang tak bisa disembunyikan, terutama Chintya.

“Kak Aluna jangan pulang,” katanya pelan sambil menarik ujung bajuku. Matanya berkaca-kaca.

Aku jongkok, menatap wajah mungil itu yang seperti adik kecilku sendiri walaupun sebenarnya tidak punya. “Aku harus pulang, nanti aku main ke sini  kalau ada waktu, setuju?”

Chintya mengangguk kecil, tapi pipinya tetap basah. Aku memeluknya erat, lebih lama dari biasanya, sambil menahan air mata sendiri. rasanya seperti meninggalkan rumah kedua.

Setelah sesi foto bersama dan makan-makan, semua relawan saling berpamitan. Ada tawa, ada janji untuk tetap saling berhubungan. Dimas sempat menggoda, “Main-main lo ke tempat gue, siapa tahu lo dapet jodoh nanti gue kenalin,”

Aku hanya tertawa kecil, membalas candanya dengan lirik. “Kenalin nama gue Aluna Dewita Putri, lo harus kenalin ke orang, nanti kalau lo udah dapet jodoh gue, kabarin gue,”

“Mana bisa gitu,”

“Hahaha …. “

2

Perjalanan pulang terasa panjang. aku menatap pemandangan dari jendela bus. Semuanya seperti memutar kenangan selama aku berada disana, semua yang aku butuhkan selama ini tentang ketenangan, penerimaan dan makna hidup, rasanya cukup. sekarang waktunya kembali menghadapi dunia nyata.

Beberapa hari kemudian, rutinitasku kembali seperti semula. Kadang ibu menemaniku, sambil membaca buku atau menonton tv. Kadang aku harus harus mengantar ibu ke tempat kerja lalu, menjemputnya, kadang aku juga harus bimbingan. Aku belajar menyetir lagi setelah sekian lama takut pada jalanan sejak kecelakaan itu. tapi kali ini, aku merasa tenang. aku belajar percaya pada hidup.

Suatu sore, ibu datang sambil duduk bersamaku di sofa.

“Luna, besok kita lihat rumah, yuk,” katanya bersemangat. “Udah selesai direnovasi. Ibu pengen kamu lihat dulu sebelum pindah.”

Aku mengangguk tanpa banyak pikir. Malamnya, saat aku melihat alamat yang ibu tulis, jantungku mendadak berdebar lebih cepat. Nama jalan itu, rumah Niskala.

3

Keesokan paginya, udara terasa lembap. Aku yang menyetir kali ini, pelan-pelan menyusuri jalan satu arah menuju komplek perumahan. Mobilku melaju dengan kecepatan sedang dan aku mengenali beberapa rumah dari sisi jalan. Termasuk satu rumah yang pernah ku datangi sebelum aku kecelakaan.

Ada sosok laki-laki paruh baya berdiri di depan rumah itu, mengenakan kaos oblong dan celana pendek sedang duduk di teras. aku sempat berpikir untuk menurunkan kaca mobil, menanyakan kabar, tapi aku urungkan niat itu. itu bukan keluarga Niskala, mungkin penjaga baru. mungkin juga kerabat yang datang. aku tak tahu.

Aku kembali fokus ke arah rumah baru kami, hanya beberapa meter dari sana. Rumahnya masih berbau cat baru dengan gaya minimalis yang sangat sederhana.

Dinding berwarna putih gading dan jendela besar membiarkan cahaya masuk dengan leluasa. Di bagian depan ad ataman kecil dan pohon kamboja yang baru di tanam. Aku turun dari mobil dan berjalan pelan menyusuri halaman. Ada tiga kamar tidur, satu kamar mandi utama dan dapur yang langsung terhubung dengan ruang keluarga. Di belakangnya, halaman luas terbentang, cukup untuk kolam renang 3x7 meter atau bahkan gazebo.

Lihat selengkapnya